Jumat, 07 Desember 2012

Maafkan Aku Istriku (4)



Maafkan Aku Istriku


Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku. Sambil menggengam tanganya aku berkata “Saya ingin mengatakan sesuatu padamu”, istriku lalu duduk di sampingku. Tiba-tiba saja aku tak tahu harus memulai percakapanya dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku.
            “aku ingin sebuah perceraian di antara kami “. Maka dari itu aku beranikan diri. Sepertinya ia tak keberatan dengan ucapanku, dia malah bertanya “ Mengapa ?”, namun aku enggan untuk menjawabnya, hal itu membuat istriku sangat marah padaku. Hingga ia memilih pergi ke kamar dan menangis.
***
            Keesokan harinya aku pulang lebih larut, aku sengaja tak makan malam dan segera menuju ruang kamar untuk tidur karena kantuk tak tertahan lagi. Karena seharian ini aku pergi bersama Veronica. Setiba di ruang kamar aku dapati istriku sedang menulis di meja sudut ruangan sambil menangis. Tapi aku tak menghiraukannya, bagiku air matanya kini sudah tak berarti apa-apa. Aku langsung saja merebahkan tubuhku di kasur, hingga akhirnya benar-benar terlelap. Pagi harinya istriku memberikan surat yang semalaman ia tulis kepadaku. Surat yang berisi persetujuan untuk perceraian kami dengan syarat memberikan waktu satu bulan lagi, dan bersikap biasa saja seperti tak terjadi apa-apa. Karena ia tak ingin putri kami jadi kepikiran hingga mengganggu ujiannya yang tinggal beberapa hari lagi. Dan istriku juga meminta agar aku menggendongnya setiap bangun tidur dari kasur hingga keluar pintu kamar selama satu bulan. Aku fikir dia sudah gila. Mana bisa aku menggendong wanita yang sudah terasa asing di hatiku. Tentu saja hal ini aku ceritakan kepada Veronica. Veronica tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Ia hanya berkata “Turuti saja kemauannya, yang penting suatu saat nanti ia akan menghadapi hari perceraiannya denganmu yang sudah kita rencanakan”. Lalu aku berfikir lagi apa salahnya aku memberikan kenangan manis di detik-detik perceraian kami.
***
Hari pertama aku menggendongnya, kakiku terasa kaku untuk melangkah, aku merasa sudah sangat asing dengan wanita yang telah sepuluh tahun hidup bersamaku.
Keesokan harinya aku kembali menggendongnya, perasaan itu masih saja sama. Perasaan asing pada istriku sendiri. Hari ketiga aku menggendongnya, aku mulai merasa terbiasa, perasaan asing itu perlahan-lahan mulai hilang.
Prok...prok...prok...  tepukan putriku ketika melihat aku sedang menggedong mamahnya. “Ayah romantis sekali”, teriaknya dari sudut ruang makan. Setiap hari ketika bangun tidur, aku selalu menggendong istriku dari kasur sampai keluar pintu kamar sesuai permintaannya.
Ini hari ke sepuluh aku menggendongnya, aku mulai mearasakan perasaan yang dulu tumbuh lagi. Perasaan dimana saat pertama kali aku menggendongnya saat awal pernikahan kami. Aku pandangi wajahnya yang telah lama aku acuhkan, wajah dengan kulit yang hampir keriput, dengan rambut yang sudah berganti warna jadi putih. Wajah yang dulu sangat aku cintai, aku sudah bersalah kepadanya, aku telah menginginkan perceraian pada wanita cantik yang sangat aku cintai, wanita cantik yang tulus membuang waktunya sia-sia untukku sepuluh tahun lamanya.
Hari ke sebelas, dua belas, tiga belas, bahkan sampai pada hari ke tiga puluh, aku terus menggendongnya.
Ini hari terakhir ku menggendong istriku sesuai permintaannya. Harusnya aku senang, karena sebentar lagi aku akan bercerai dengannya dan menikah dengan Veronica, namun terasa berat sekali untuk melepaskannya dari gendonganku. Aku mulai sadar dengan rasa cintaku padanya yang dulu, ternyata masih tetap sama, bahkan kini perasaan itu semakin kuat.
***
Aku segera pergi ke rumah Veronica untuk bicara padanya.
“Sayang, bagaimana dengan pernikahan kita?, kapan acaranya akan di lakukan?” pertanyaan Veronica menyambut kedatanganku ke rumahnya.
“Maaf Veronica kita tidak akan pernah menikah !” jawabku tegas.
“Maksudmu ?” pertanyaan Veronica singkat, namun terlihat sangat penasaran mengapa aku sampai membatalkan pernikahanku dengannya.
“Aku tidak akan menceraikan istriku, semenjak menggendongnya selama sebulan, aku sadar bahwa aku masih sangat mencintainya, dan aku tak akan rela menceraikannya !”. ucapku padanya.
aku mencoba menjelaskannya pada Veronica, namun ia sangat marah dan tidak terima dengan keputusanku.
Plaaaakkkk...Plaaakkk...!!!!
Tamparan Veronica mendarat di kedua belah pipiku. “Kamu boleh menamparku Veronica, namun aku tak akan pernah menceraikan istriku ! permisi !”. ucapku sambil berjalan cepat menuju mobilku, yang ku parkirkan di depan halaman rumah Veronica.
            Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan maksimal, aku tak sabar untuk memberi tahu istriku bahwa aku tak akan menceraikannya. Aku ingin menggendongnya setiap pagi sampai ajal memisahkan kami berdua.
*sesampainya di rumah*
Aku segera menuju ruang kamarku, betapa terkejut dan tak percaya, istriku telah tergeletak tak bernyawa di kasur. Dia meninggal karena sakit kanker hati pedium 4. Penyakit yang telah sekian lama di deritanya dan di rahasiakannya padaku. Ternyata ia tahu bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi. Ia sengaja memintaku untuk menggendongnya setiap bangun tidur seperti janjiku padanya dulu, yang akan selalu menggendongnya setiap bangun tidur sampai ajal memisahkan kami berdua. Dan ia telah membebaskanku dari prasangka buruk putri kami, jika putri kami tahu aku hendak menceraikan istriku, mamahnya. Dengan kepergiannya ia telah mengalah demi memenuhi keinginanku untuk bercerai dengannya. Dengan kepergiannya ia telah membebaskanku dari perceraian dan dari kebencian putriku. Maafkan aku istriku, maafkan aku.

0 komentar:

Posting Komentar