Oleh: Krismas Bagau
Krismas Bagau @ |
Sumber daya alam dieksproitasi atas nama NKRI, Manusia Papua Dibunuh Dan Dibuang Bagaikan Binatang di alamnya sendiri.
Ketika mendengar orang luar Papua mengatakan bahwa kamu orang Papua? Jawabnya iyaatau benar. Pasti setiap orang Papua mengatakan iya atau benar, saya orang Papua. Mengapa? Karena menyangkut harga diri. Pertanyaan lebih lanjut, berarti kamu orang kaya, karena Freeport yang ada di Timika menjamin orang Papua sehingga kesejahatrahan terjamin. Pertanyaan konyol dan orang bodoh ini sering kali kita kemukakan, walaupun kekayaan Alamnya berlimpah ruah yang dinikmati oleh pejabat Indonesia, tetapi masyarakat Papua yang marjinal sama sekali tidak merasakan apa-apa dari hasil kekayaannya.
Jika kita melihat pada undang-undang otonomi khusus bagi propinsi Papua BAB X tentang prekonomian. Yang tetuang dalam pasal 39 yang menyatakan bahwa pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaiman dimakssudkan dalam pasal 38 dilaksanakan di propinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien dan komptetitif. Namun dalam implementasinya jahu dari apa yang tertuang dalam undang-undang otonomi Khusus bagi Propinsi Papua No 21 Tahun 2001.
Lebih jahu kita melihat dari presepektif kontak kerja generasi pertama 1967 dengan PT. Freeport Indonesia (FI) diperbaruhi kontak kerja generasi II pada tahun 1991, namun tak optimal keuntungan bagi orang Papua asli. Kekayaan alam dikuras habis-habisan, manusia yang mendiami di sekitarnya di cap sebagai pengemis, tukan minta-minta, bukan itu saja tetapi diskriminasi, penganiyaan terus menerus secara terstruktur, pembunuhan terus dialami di atas kekayaannya. Penderitaan yang dialami masyarakat Papua seperti penjara ketakutan, kegelapan masa depan, diskriminasi, diintimidasi, diteror, dianiaya, dieksploitasi, budaya bisu dan takut yang disebabkan oleh kekejaman dari penjajahan Indonesia yang berwatak militeristik.
Ketika melihat dengan kaca mata positif manusia membantai manusia dihadapan alamnya sendiri atas nama Pembangunan Nasional. Pembohongan terus dialamI di atas tanah leluhurnya yang diwariskan kepada orang Papua oleh NKRI. Seperti dijelaskan dalam media kompas, senin, 2 januari 2012. Pasal 33, Freeport, dan Papua oleh Sri-Edi Swasono, dasar hukum penanganan modal asing di Indonesia adalah undang-undanf nomor 1 tahun 1967, menjelaskan bahwa mestinya pemerintah malu telah lalai menyejahterakan rakyat sendiri disekitar lokasi pertambangan PT. Freeport Indonesia, di pengunungan Ertsberg yang superkaya logam mulia. Lebih lanjut lagi ia menegaskan bahwa tindakan ekstraordinarinya penyejahteran dan pembagian rakyat Papua harus segera dibuktikan hasilnya. Kekerasan terhadap rakyat Papua harus distop. Salah asuhan aparat kita yang semena-mena melakukan kekerasan terhadap rakyat demi apa dan demi siapa?
Orang luar Papua saja sudah mengakui bahwa terjadi diskriminasi dan pembantaian terhadap kekayaan alamnya sendiri. Kapitalisme mengerogoti alam Papua terutama PT. Freeport Timika tidak bisa menjamin seluruh masyarakat Papua. Pendapatan lebih besar tetapi tidak bisa menjamin orang Papua. Persoalan PT. Freeport yang hadir Ditimika tidak bisa menjamin kehidupan masyarakat Papua. Yang ada kesenjangan terjadi antara pemilik hak ulayat Orang Papua kapitalisme yang sudah mengglobal. Warga pribumi Papua yang menolak kehadiran PT. Freeport, dan melakukan serangkaian demo atau aksi yang dapat membangun kesejahatran untuk orang Papua tetapi orang Papua di perhadapkan pada tradi besi dan moncong senjata.
Ini dikatakan kemiskinan dan pembodohan terstruktur terhadap orang Papua asli yang menjadi pemilik hak ulayat di atas tanah leluhur yang ditempatkan bangsa Papua oleh Tuhan Allah nenek moyang orang Papua sendiri sudah menempatkanya. Menempatkan orang Papua kulit hitam, ramput kerinting, untuk menikmati kehidupan dengan aman, nayaman dan damai. Namun kita melihat kehidupan real ini terasa sekali. Didikan-didikan NKRI terutama TNI, Porli, BIN dan interjen bekerja dibahwa tanah. Papua dijadikan sebagai tempat keamanan Indonesia untuk mencari makan. Hal itu mengerti saja bahwa perlakuan mereka itu biadap dan tidak manusiawi tetapi suatu saat mereka akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kepada Allah pencipta yang menempatkan semua orang dengan masing-masing wialayahnya. Seperti orang jawa dengan wilayahnya sendiri dan orang Papua dengan wilayahnya sendiri untuk berkuasa di atas negerinya sediri.
Tuhan pencipta sedang melihat, betapa penderitaan orang Papua dari tahun ke tahun di perhadapkan pada situasi yang menyakitkan. Tanah menjadi tempat istrahat mereka terakhir bagi yang berjuang demi kebenaran dan keadilan. Ketika orang Papua melawan dan bersuara untuk bertindak demi kebenaran. Sudah pasti keamanan Indonesia mengatur agenda khusus untuk menindas orang asli Papua. Ini berarti Pemerintah RI sudah, sedang dan akan terus menindas, memeras, menyiksa, menghukum, memenjarakan dan membunuh bagian orang Papua secara terstruktur, sementara kekayaan alam yang terdapat dialaminya dikuras habis-habisan seperti PT. Freeport Timika yang beroperasi di tembagapura sejak 1967 hingga kini tidak ada perubahan sama sekali dalam kehidupan orang Papua dengan kekayaan alamnya. Justru dengan melihat kekayaan alam di Papua maka orang-orang yang mendiami di tanah papua selalu dijadikan sebagai tempat peristrahatan terakhir dengan tindakan tidak manusiawi yang diperlakukan oleh keamanan republik ini hanya dan demi kekayaan alam bukan orang Papua.
situasi dan Kondisi ini jika dilihat, bahwa Pemerintah RI dengan tindakan memecah-belahkan orang Papua juga pemekaran dimana-mana juga tidak melihat putra daerah berapa yang sudah berhasil dan dibiayai dari hasil kekayaan orang Papua itu sendiri. Hal itu juga sengaja untuk mengacakukan situasi Papua dari persatuan dan kesatuan untuk melawan kapitalisme dalam bingkai NKRI dan Lebih para lagi memberi stigma kepada orang Papua Separatisme secara tidak langsung di atas kekayaannya, itu berarti Pemerintah RI sudah dan sedang menggangu terus hinga kini juga, namun sampai kapan pun generasi tidak akan pernah lupa pada sejarah perjuangan yang selalu diskriminasi terhadap alamnya sendiri.
Biarlah orang bernyai di atas penderitan rakyat Papua karena semua perbuatan manusia akan di perjanggungjawabkan pada pencipta pada akhirat, karena setiap kata, kalimat perbuatan itu dipertanggungjawabkan dalam pengadilan terakhir. Orang Papua juga akan menulis sedikit dari keseluruhan penindasan dari penderitan yang terus termakan waktu untuk generasi selanjutnya, untuk dan agar terus berjuang sampai pada kemerdekaan di alamnya.
So pasti semua orang Papua diperhadapkan pada tanah sebagai tempat istrahat tetapi orang-orang Papua yang menyuarakan tentang hak-hak orang Papua selalu di perhadapkan pada kehidupan kematian yang tidak manusiawi. Hal itu terjadi karena eksitensi orang papua tidak mau digadaikan begitu saja demi kepuasan para pejabat Indonesia. Papua terus mengalami penderitaan yang tak kunjung sembuh seperti penjara ketakutan, kegelapan masa depan, diskriminasi, diintimidasi, diteror, dianiaya, dieksploitasi, budaya bisu dan takut yang disebabkan oleh kekejaman dari penjajahan Indonesia yang berwatak militeristik. Masyarakat Papua menderita karena ingin bahwa segala sesuatu tetap ada, seperti sumber daya alam yang dieksploitasi oleh pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan investor asing seperti PT. Freeport Tembagapura yang salah satunya. Investor asing mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperdulikan hak ulayat pemilik tanah. Kritis terhadap penderitaan yang dialami dari tahun ke tahun di atas tidak ada penyelesaian secara tuntas, menyeluruh dan manusiawi, sementara sumber daya alam dikuras dan dieksploitasi, sehingga generasi penerus Papua menuntut hak dan kebebasan yang paling tinggi yaitu kebahagian dari hasil sumber daya alam, tetapi yang ada hanyalah penderitaan.
Penderitan itu terjadi karena orang Indonesia bukan mencintai orang Papua tetap mencintai kekayan alam seperti PT. Freeport Timika. Hasil dari kekayaan alamnya tidak dinikamti oleh seluruh orang Papua tetapi itu juga hanya segelintir elit saja yang menikmati. Sementara masyarakat marjinal selalu diperhadapkan pada situasi yang tidak manusiawi. Manusia dibunh di atas kekayannya dan dibuang begitu saja demi kenikmatan sesat yang diperlakukan oleh keamanaan republik ini.
Penulis adalah salah satu mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.
Ketika mendengar orang luar Papua mengatakan bahwa kamu orang Papua? Jawabnya iyaatau benar. Pasti setiap orang Papua mengatakan iya atau benar, saya orang Papua. Mengapa? Karena menyangkut harga diri. Pertanyaan lebih lanjut, berarti kamu orang kaya, karena Freeport yang ada di Timika menjamin orang Papua sehingga kesejahatrahan terjamin. Pertanyaan konyol dan orang bodoh ini sering kali kita kemukakan, walaupun kekayaan Alamnya berlimpah ruah yang dinikmati oleh pejabat Indonesia, tetapi masyarakat Papua yang marjinal sama sekali tidak merasakan apa-apa dari hasil kekayaannya.
Jika kita melihat pada undang-undang otonomi khusus bagi propinsi Papua BAB X tentang prekonomian. Yang tetuang dalam pasal 39 yang menyatakan bahwa pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaiman dimakssudkan dalam pasal 38 dilaksanakan di propinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien dan komptetitif. Namun dalam implementasinya jahu dari apa yang tertuang dalam undang-undang otonomi Khusus bagi Propinsi Papua No 21 Tahun 2001.
Lebih jahu kita melihat dari presepektif kontak kerja generasi pertama 1967 dengan PT. Freeport Indonesia (FI) diperbaruhi kontak kerja generasi II pada tahun 1991, namun tak optimal keuntungan bagi orang Papua asli. Kekayaan alam dikuras habis-habisan, manusia yang mendiami di sekitarnya di cap sebagai pengemis, tukan minta-minta, bukan itu saja tetapi diskriminasi, penganiyaan terus menerus secara terstruktur, pembunuhan terus dialami di atas kekayaannya. Penderitaan yang dialami masyarakat Papua seperti penjara ketakutan, kegelapan masa depan, diskriminasi, diintimidasi, diteror, dianiaya, dieksploitasi, budaya bisu dan takut yang disebabkan oleh kekejaman dari penjajahan Indonesia yang berwatak militeristik.
Ketika melihat dengan kaca mata positif manusia membantai manusia dihadapan alamnya sendiri atas nama Pembangunan Nasional. Pembohongan terus dialamI di atas tanah leluhurnya yang diwariskan kepada orang Papua oleh NKRI. Seperti dijelaskan dalam media kompas, senin, 2 januari 2012. Pasal 33, Freeport, dan Papua oleh Sri-Edi Swasono, dasar hukum penanganan modal asing di Indonesia adalah undang-undanf nomor 1 tahun 1967, menjelaskan bahwa mestinya pemerintah malu telah lalai menyejahterakan rakyat sendiri disekitar lokasi pertambangan PT. Freeport Indonesia, di pengunungan Ertsberg yang superkaya logam mulia. Lebih lanjut lagi ia menegaskan bahwa tindakan ekstraordinarinya penyejahteran dan pembagian rakyat Papua harus segera dibuktikan hasilnya. Kekerasan terhadap rakyat Papua harus distop. Salah asuhan aparat kita yang semena-mena melakukan kekerasan terhadap rakyat demi apa dan demi siapa?
Orang luar Papua saja sudah mengakui bahwa terjadi diskriminasi dan pembantaian terhadap kekayaan alamnya sendiri. Kapitalisme mengerogoti alam Papua terutama PT. Freeport Timika tidak bisa menjamin seluruh masyarakat Papua. Pendapatan lebih besar tetapi tidak bisa menjamin orang Papua. Persoalan PT. Freeport yang hadir Ditimika tidak bisa menjamin kehidupan masyarakat Papua. Yang ada kesenjangan terjadi antara pemilik hak ulayat Orang Papua kapitalisme yang sudah mengglobal. Warga pribumi Papua yang menolak kehadiran PT. Freeport, dan melakukan serangkaian demo atau aksi yang dapat membangun kesejahatran untuk orang Papua tetapi orang Papua di perhadapkan pada tradi besi dan moncong senjata.
Ini dikatakan kemiskinan dan pembodohan terstruktur terhadap orang Papua asli yang menjadi pemilik hak ulayat di atas tanah leluhur yang ditempatkan bangsa Papua oleh Tuhan Allah nenek moyang orang Papua sendiri sudah menempatkanya. Menempatkan orang Papua kulit hitam, ramput kerinting, untuk menikmati kehidupan dengan aman, nayaman dan damai. Namun kita melihat kehidupan real ini terasa sekali. Didikan-didikan NKRI terutama TNI, Porli, BIN dan interjen bekerja dibahwa tanah. Papua dijadikan sebagai tempat keamanan Indonesia untuk mencari makan. Hal itu mengerti saja bahwa perlakuan mereka itu biadap dan tidak manusiawi tetapi suatu saat mereka akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kepada Allah pencipta yang menempatkan semua orang dengan masing-masing wialayahnya. Seperti orang jawa dengan wilayahnya sendiri dan orang Papua dengan wilayahnya sendiri untuk berkuasa di atas negerinya sediri.
Tuhan pencipta sedang melihat, betapa penderitaan orang Papua dari tahun ke tahun di perhadapkan pada situasi yang menyakitkan. Tanah menjadi tempat istrahat mereka terakhir bagi yang berjuang demi kebenaran dan keadilan. Ketika orang Papua melawan dan bersuara untuk bertindak demi kebenaran. Sudah pasti keamanan Indonesia mengatur agenda khusus untuk menindas orang asli Papua. Ini berarti Pemerintah RI sudah, sedang dan akan terus menindas, memeras, menyiksa, menghukum, memenjarakan dan membunuh bagian orang Papua secara terstruktur, sementara kekayaan alam yang terdapat dialaminya dikuras habis-habisan seperti PT. Freeport Timika yang beroperasi di tembagapura sejak 1967 hingga kini tidak ada perubahan sama sekali dalam kehidupan orang Papua dengan kekayaan alamnya. Justru dengan melihat kekayaan alam di Papua maka orang-orang yang mendiami di tanah papua selalu dijadikan sebagai tempat peristrahatan terakhir dengan tindakan tidak manusiawi yang diperlakukan oleh keamanan republik ini hanya dan demi kekayaan alam bukan orang Papua.
situasi dan Kondisi ini jika dilihat, bahwa Pemerintah RI dengan tindakan memecah-belahkan orang Papua juga pemekaran dimana-mana juga tidak melihat putra daerah berapa yang sudah berhasil dan dibiayai dari hasil kekayaan orang Papua itu sendiri. Hal itu juga sengaja untuk mengacakukan situasi Papua dari persatuan dan kesatuan untuk melawan kapitalisme dalam bingkai NKRI dan Lebih para lagi memberi stigma kepada orang Papua Separatisme secara tidak langsung di atas kekayaannya, itu berarti Pemerintah RI sudah dan sedang menggangu terus hinga kini juga, namun sampai kapan pun generasi tidak akan pernah lupa pada sejarah perjuangan yang selalu diskriminasi terhadap alamnya sendiri.
Biarlah orang bernyai di atas penderitan rakyat Papua karena semua perbuatan manusia akan di perjanggungjawabkan pada pencipta pada akhirat, karena setiap kata, kalimat perbuatan itu dipertanggungjawabkan dalam pengadilan terakhir. Orang Papua juga akan menulis sedikit dari keseluruhan penindasan dari penderitan yang terus termakan waktu untuk generasi selanjutnya, untuk dan agar terus berjuang sampai pada kemerdekaan di alamnya.
So pasti semua orang Papua diperhadapkan pada tanah sebagai tempat istrahat tetapi orang-orang Papua yang menyuarakan tentang hak-hak orang Papua selalu di perhadapkan pada kehidupan kematian yang tidak manusiawi. Hal itu terjadi karena eksitensi orang papua tidak mau digadaikan begitu saja demi kepuasan para pejabat Indonesia. Papua terus mengalami penderitaan yang tak kunjung sembuh seperti penjara ketakutan, kegelapan masa depan, diskriminasi, diintimidasi, diteror, dianiaya, dieksploitasi, budaya bisu dan takut yang disebabkan oleh kekejaman dari penjajahan Indonesia yang berwatak militeristik. Masyarakat Papua menderita karena ingin bahwa segala sesuatu tetap ada, seperti sumber daya alam yang dieksploitasi oleh pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan investor asing seperti PT. Freeport Tembagapura yang salah satunya. Investor asing mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperdulikan hak ulayat pemilik tanah. Kritis terhadap penderitaan yang dialami dari tahun ke tahun di atas tidak ada penyelesaian secara tuntas, menyeluruh dan manusiawi, sementara sumber daya alam dikuras dan dieksploitasi, sehingga generasi penerus Papua menuntut hak dan kebebasan yang paling tinggi yaitu kebahagian dari hasil sumber daya alam, tetapi yang ada hanyalah penderitaan.
Penderitan itu terjadi karena orang Indonesia bukan mencintai orang Papua tetap mencintai kekayan alam seperti PT. Freeport Timika. Hasil dari kekayaan alamnya tidak dinikamti oleh seluruh orang Papua tetapi itu juga hanya segelintir elit saja yang menikmati. Sementara masyarakat marjinal selalu diperhadapkan pada situasi yang tidak manusiawi. Manusia dibunh di atas kekayannya dan dibuang begitu saja demi kenikmatan sesat yang diperlakukan oleh keamanaan republik ini.
Penulis adalah salah satu mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.