Tampilkan postingan dengan label Opini News. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini News. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Oktober 2016

STOP PAKSA BANGSA PAPUA BARAT MENJADI BAGIAN DARI INDONESIA

Spanduk Nasional AMP



Sejarah Papua yang melekat pada jati diri yang diajarkan secara alamia secara turun-temurun setiap insan bangsa papua yang telah  melahirkan  perlawanan secara bergerilya di hutan rimba Papua sampai perlawanan lewat gerakan  di kota serta para diplomat luar negeri, dari sekian perlawan ini telah terbentuk dan menjadi karakter setiap individu bangsa  papua dimana pun kami berada baik diluar tanah Papua dan pada khususnya ditanah Papua, untuk harus melawan  dari segala macam bentuk penindasan kekerasan di seluruh tanah Papua,yang ingin  merdeka bebas dan lepas  dari cengkraman Negara Indonesia.

1 Mei 1963 kolonialis Indonesia mencaplok Papua secara paksa dengan dasar yang sangat tidak jelas Papua menjadi daerah sangketa antara Belanda dan Indonesia kemudian pada tanggal 15 agusstus 1962 di sepakati lewat agenda majelis umum PBB dibuatlah  Perjajian New york   Agreement yang dilaksanakan lewat sandiwara politik beberapa pihak saja di antaranya  yang sama sekali  tidak melibatkan satupun rakyat papua pada saat itu,dan  ini benar-benar hanya kepentingan ekonomi politik,sehingga pada puncaknya rakyat papua di korbankan, pengesahan  dan dimuat dalam  resolusi PBB 2504 yang berbunyi Act of Free Choice dalam artian  pernyataan bebas memilih yang cacat hukum dan moral atau satu orang satu suara ini pun diartikan oleh Indonesia sebagai Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh negara indonesia lewat berbagai pruduk  program seperti otonomi khusus ,UP4B, dan otonomi plus yang diberikan kepada rakyat papua  ini hanya ibarat gula-gula manis paket progam tersebut ini yang kemudian akan mengakibat kan bangsa papua akan mengalami tanda-tanda kepunahaan

Disisi lain jelas bahwa  upaya yang di seting sedemikian rupa oleh elit-elit politik lokal maupun elit-elit dijakarta yang sebagai pusat pemerintahan  ini hanya meredam perjuangan Bangsa Papua Barat  yang kemudian memaksa rakyat Papua menjadi bagian dari negara Indonesia yang secara nyata dan sadartidak sadar rakyat papua pun hilang lenyap dari tanah leluhur Papua barat.

Sebagai contoh dari tulisan ini yang saya naikan adalah negara Indonesia sedang mengindonesiakan Bangsa papua lewat program  pemilihan umun atau PEMILU 2014 dengan nama lain disebut dengan pesta demokrasi yang sebentar lagi akan di gelar ,sadar tidak sadar seantero orang papua telah memainkan peran ini bahkan ada yang mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  daerah,propinsi dan bahkan dijakarta pusat,inilah yang secara pribadi saya lontarkan ke publik,agar rakyat papua yang selama bertahun-tahun dijajah dari berbagai aspek.

Saat ini  dan detik ini juga kami  harus sadar dari kesadaran palsu yang selama ini masih teripnotis oleh bangsa ini, selanjutnya yang telah sadar tolong beritahukan ke rakyat papua yang lainnya agar PEMILU 2014 kali ini kita BOIKOT secara serentak dari orong samapi dengan Merauke ingat bukan GOLPUT tapi BOIKOT.


Sumber :  http://peuumabii.wordpress.com/2014/03/19/stop-paksa-bangsa-papua-barat-menjadi-bagian-dari-indonesia/


Jumat, 28 Oktober 2016

KAPITALISME AKAR PENINDASAN DI TANAH TANAH


Foto ilutrasi,KM
Oleh: Frans Nawipa

Dalam literaturku penindasan massa rakyat Papua Barat berakar pada bekerjanya logika investasi dalam konteks sistem kapitalisme. Untuk alasan akumulasi kapitallah kelas kapitalis, bersarang dimana-mana, berusaha menghegemoni kesadaran massa rakyat di mana-mana, dan mengadakan hubungan yang menindas dimana-mana. Demokrasi yang, katanya, dijunjung tinggi oleh borjuispun, kalau diselidiki lebih dalam, sebenarnya dilaksanakan hanya dalam batasan hal itu membudak pada kepentingan kelas kapitalis. Jika demokrasi, di ranah praksis-konkret, tidak melayani kepentingan kelas borjuis kapitalis, atau bahkan mengancam kepentingan kelas borjuis kapitalis, maka tindakan yang akan dilakukan kelas kapitalis adalah memperalat negara “Indonesia”melakukan kekerasan terhadap demokrasi itu sendiri.

Berangkat dari situ, menurutku, ketiadaan pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi secara utuh di tanah “yang tidak merdeka di Papua, karena ulah dari negara yang membudak pada kepentingan kelas kapitalis.oleh karena itulah, penyelesaikan permasalah pelanggaran HAM di Papua Barat (upaya menengelamkan rumpun melanesia, pembunuhan dan memerkosaan perempuan), eksploitasi Tanah Papua, dan hegemoni kesadaran di Tanah Papua, hanya dapat dituntaskan dengan cara menumbangkan sistem kapitalisme dan menggantikannya dengan sistem yang lebih baik.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa kaum buruh harus mengemban tugas penumbangan ini? Jawabannya, karena kepentingan kelas buruh—merebut alat produksi dari kelas kapitalis—secara sistematis terkait dengan berbagai kepentingan massa rakyat tertindas di berbagai ranah. Secara kasat mata, memang penindasan di Tanah Papua Barat , tidak ada kaitannya dengan kaum buruh. Namun, pandangan ini keliru. Logika bekerjanya investasi mengarah pada eksploitasi dan alienasi kaum buruh. Untuk mengeksploitasi dan mengalienasi kaum buruh inilah kemudian kelas kapitalis menciptakan kesadaran palsu di tengah-tengah massa rakyat, mengkondisikan rakyat Papua miskin sehingga tersedia buruh-buruh cadangan industri (dalam bahasa Karl Marx: tentara cadangan industri), dan untuk kepentingan mengeksploitasi kerja buruh (agar terus berproduksi hingga komoditi mengalami over) kelas kapitalis merusak alam melalui logika memproduksi lebih banyak lebih baik dan lebih bisa melakukan akumulasi kapital dengan menggila.

Hari ini Tanah dan rakyat Papua Barat ditindas, di gusur, dikuras, di isap, dan dirusak alamnya, jelas untuk kepentingan memonopoli akumulasi kapitalisme global Dan untuk kepentingan inilah kelas borjis kapitalis-Imperialisme Barat memperalat negara Klonialisme Indonesia sebagai alat atau pintu masuk bagi kaum borjuis kapitalisme untuk mendominasi Inventasi Asing seluruh teritori West Papua  (KM).

Sumber: http://www.kabarmapegaa.com/

CATATAN HARIAN “Sebuah Inspirasi Kelak”


Honny Pigai/Pribadi
Oleh: Honaratus Pigai

Sangat menarik kalau kita memiliki catatan harian dalam hidup. Catatan harian yang memuat pengalaman harian hidup yang kita lihat, dengar, rasakan, dan alami sendiri dalam hidup. Karena maknanya akan terasa di kemudian hari, ketika kita membaca kembali tulisan-tulisan pengalaman yang pernah kita buat sendiri. Bukan hanya kita sendiri yang mengalami bermaknanya tulisan harian itu, tetapi juga bagi generasi ke depan yang membaca catatan kita itu.

Tuan Henri J.M. Nouwen yang tidak asing bagi para penggiat politik, agama, Filsafat dan lainnya. Ada beberapa ideologinya muncul dari pengalamannya. Ia memaknai pengalamannya dengan kesadaran tinggi. Ia memaknai kehadiran Tuhan melalui tanda-tanda zaman yang berkembang. Ia pernah mengatakan "Syukur kepada Allah, yang telah menuntun saya ke tempat ini". Pernyataan ini diungkapkannya dari kesadaran dirinya bahwa Ia benar-benar mahluk religius, yang ada di dunia. Ia selalu terkesan dengan pengalaman-pengalaman baru dan menulisnya dalam buku catatan hariannya.

Dalam catatan hariannya yang dimuat dalam buku GRACIAS!: Catatan Harian di Amerika Latin, saat berada di Lima (Ibu Kota Negara Peru) selama enam bulan (Oktober 1981-Maret 1982), ia menulis berbagai persoalan yang dialami rakyat Peru. Dalam buku GRACIAS, dikatakan bahwa masyarakat Peru hidup dalam dinamika sosial politk yang lebih menguntungkan para penguasa. Hidup bersama dengan orang Peru, bersama dengan pengalaman penderitaan mereka dan mendengar senandung harapan di tengah kecemasan, membawa Nouwen kepada keyakinan bahwa perjuangan membebaskan diri dari perderitaan harus terlaksana dalam afeksi, kelembutan dan keheningan. Nouwen sepakat pandangan Gustavo Guiterres, yang menandaskan dengan amat jelas bahwa kasih bagi sesama adalah hakiki bagi revolusi sejati.

Sabtu, 23 Juli 2016

DURI DIALOG INDONESIA TENTANG PAPUA


Rabu, 20 Juli, 2016, Aksi solidaritas dari Jaringan Salatiga Peduli Papua (JSPP) yang mendukung agar mahasiswa Papua di Yogyakarta dapat bebas menyerukan aspirasinya, tanpa intervensi verbal maupun fisik. Mimbar bebas ini digelar di muka gerbang kampus UKSW. | Dok.scientiarum.com/David Adhyaprawira



Untuk berdialog tentang Papua, baiknya membaca buku “Kita Lebih Bodoh Dari Generasi Soekarno-Hatta”. Buku ini berlatar kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dan bagaimana kelanjutan nasib berbangsa dan bernegara bagi Indonesia. Menariknya, di dalam buku ini ada wawancara sejumlah tokoh dari Romo Mangun, Gus Dur, Daniel S. Lev dan sosiolog Arief Budiman. Arief Budiman, menerangkan, bahwa, “Protes adalah politik, ya harus dihadapi dengan dialog bukan dengan senjata dan kekerasan.”

Kurang lebih 18 tahun buku tersebut telah terbit dan era reformasi telah datang. Salah satu tanda hadirnya reformasi adalah kebebasan berekspresi yang tidak lagi takut ditangkap, dipenjara bahkan hilang entah kemana. Indonesia pasca 1998 adalah surga bagi kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan itu mungkin barang yang mahal bagi mahasiswa Papua di Yogyakarta dan sebagian orang lainnya.

Beritanya sudah di mana-mana. 15 Juli 2016, kekerasan masih terjadi untuk Papua. Memang, kekerasan represif di tubuh Republik Indonesia ini tidak saja dialami oleh orang-orang Papua secara tunggal, namun kebijakan reformasi bagi Papua dirasa masih jauh dari rasa keadilan pun kesejahteraan. Tak pelak, pemberitaan media dan cara pandang perorangan terhadap Papua pun menjurus pada diskriminasi. Kenapa hal ini terjadi?

Sejarah Indonesia di masa lampau baik dari zaman kolonial ke Soekarno, kemudian diamanatkan ke Presiden Soeharto, adalah sejarah kekerasan. Indonesia akan berumur 71 tahun pada bulan Agustus tahun 2016 ini, akan tetapi kekuasaan dan kekerasan masih saja menyertainya. Jika dihitung tahun 1945 ke 1966, 21 tahun Presiden Soekarno berkuasa dan di era tersebut adalah masa konsolidasi kekuasaan ideologi-ideologi yang saling bersaing untuk mendukung revolusi. Kemudian pasca G30S pada 1965, “Jenderal yang Selalu Tersenyum” itu menjadi presiden menggantikan Soekarno sampai lengser di tahun 1998. Akumulasi masa pemerintahannya? Jelas, 32 tahun. Semasa Soeharto memerintah, ada ragam persoalan. Mulai tentang Papua, Aceh dan Timor-Timur. Persoalan disintegrasi ini berlangsung mulai 1975 dan belum selesai hingga kini. Hantu Daerah Operasi Militer (DOM) masih melanglangbuana. Inilah yang masih menjadi soal silang sengkarutnya. Wajah dan cerita kekerasan dari Aceh, Papua dan Timor Leste kini adalah sebuah sejarah yang masih dituliskan dan dituturkan secara turun temurun dari generasi tua ke muda.

Saya pernah mengalami sendiri apa yang sebenarnya dirasakan oleh mahasiswa Tim-Tim saat menjelang referendum 1999 di kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Saat itu, saya bertanya dalam suatu diskusi soal referendum, apakah jalan satu-satunya harus merdeka,  dan kenapa? Jawabannya pun beraneka ragam namun satu yang terngiang adalah: “Kamu di Jawa tidak merasakan bagaimana rumahmu diambil, kakakmu dibunuh dan tetanggamu ditembak di depan matamu sendiri sedangkan kamu dalam keadaan terikat dan disuruh melihat apa yang terjadi.”

Cerita tersebut adalah fakta; dan suka tidak suka, Orde Baru dengan DOM-nya meninggalkan fakta yang pedih bagi generasi selanjutnya di Indonesia. Kekerasan, stigma dan segregasi berdasarkan agama dan warna kulit itu adalah fakta. Kenyataan lain yang tak bisa dihindarkan adalah kesenjangan ekonomi antara pulau Jawa dengan daerah-daerah lain yang masih dianggap tertinggal. Dan sayangnya, persoalan seputar kesejahteraan warga negara seharusnya dapat dibicarakan, namun nyatanya cuma mimpi. Jadi dapatlah dikatakan, berdasarkan fakta-fakta di atas, bahwa rekonsiliasi baru terjadi pada tahun 1998 dan itu berarti masih berumur 18 tahun usianya. Setua era reformasi. Di kala provinsi Papua sedang belajar berdialog, sebaliknya, kebijakan negara masih belum berevolusi dari insting predatornya.

Bagaimana ke depannya? Elit dan aparatur negara, khususnya Kepolisian Republik Indonesia lebih dapat menahan diri, mengedepankan dialog bernuansa sejarah etnik keindonesian yang memang plural sejak mulanya. Sejatinya sambil menunggu buah-buah dari Otonomi Khusus itu menjadi ranum dan siap dipetik dan bagi publik dan media agar lebih berhati-hati dalam menyajikan fakta dan berita dari provinsi-provinsi yang mana wajah kekerasan masih menghantui sebagai akibat dari kebijakan di masa lampau. Terakhir, yang tidak kalah penting adalah masalah ideologi yang tidak mudah dikalahkan begitu saja oleh pendekatan ekonomi semata, apalagi dengan kekerasan. Jalan yang beradab satu-satunya bagi Indonesia modern adalah dengan DIALOG. Walaupun menyakitkan dan panjang, dialog pasti akan berbuah manis.


Sunny Batubara, alumni Fakultas Ekonomi UKSW. Kini menetap di Denpasar, Bali. Staf Jangkang Riset Institute.

Sumber : http://scientiarum.com/2016/07/21/duri-dialog-indonesia-tentang-papua/

KEBENARAN AKAN SEJARAH ADALAH SENJATA ABADI

Foto: Amoye Madai/Pribadi

Oleh: Amoye Madai

Opini News (SK) - Kita lahir karena sejarah, kita ada karena sejarah, kita hidup karena sejarah.

Siapa yang mengalami kehilangan akan sejarah, kehilangan akan identitas diri sebagai manusia. Karena manusia memiliki tiga hakekat yaitu,DAYA RASA, DAYA KARNA, dan DAYA CIPTA.

Ketiga daya ini adalah gen yang diteruskan secara turun-temurun. Dengan itu orang mengukir sejarah hidup oleh setiap suku bangsa dan budaya. Maka sejarah tidak dapat dibuat-buat atau diadakan atau ditiadakan karena sejarah adalah dimana orang berdiri dan berpijak di atas sejarah. Itulah yang dikatakan SEJARAH ADALAH KEBENARAN YANG TIDAK DAPAT DIPATAHKAN oleh berbagai kebodohan manusia.

Sejarah sebagai KEBENARAN, maka tidak bisa dihapuskan dengan uang, bahkan dibeli dengan uang.

Kita dapat menyaksikan bahwa orang mau menghapuskan sejarah dengan memakai berbagai cara. Cara-cara yang dipakai adalah memperjual-belikan sejarah dengan uang sepersen, membunuh degenerasi sebagai penerus n pewaris sejarah, merusak sejarah dengan moncong senjata, dan mengklaim dan manipulasi sejarah dengan kekerasan dan penindasan yang bertubi-tubi alias tiada henti-hentinya. 

Dengan memakai berbagai cara di atas tersebut, sekali-kali tidak akan hilang dan musnah karena sejarah adalah suatu pemberian oleh SANG PENCIPTA kepada setiap suku bangsa dan setiap etnis.

Kami tahu dan sadar bahwa sejarah kamo adalah Harga hidup kami, jatih diri kami, kekuatan hidup kami untuk kami berdiri n berpijak atas KEBENARAN yang telah diberikan oleh SANG PEMBERI SEJARAH bagi kami tanpa batas dalam perjalanan hidup kami.

Kami selalu menyadari bahwa Kami akan tetap menang karena kami punya sejarah, kami akan bebas karena kami senjata kebenaran, kami akan pasti berjaya karena kami berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan dengan mengutamakan kedamaian dan keadilan, kami akan berdiri di atas tanah leluhur kami karena kami tidak mau membunuh sesama manusia dan menghormati sesama manusia sebagai Ciptaan TUHAN. 

Kami sadar bahwa Senjata kami adalah bersatu, senjata kami adalah sejarah, senjata kami adalah budaya, senjata kami kebenaran, senjata kami adalah doa, senjata kami mengampuni dan senjata kami adalah mencintai dan menghormati semau orang.

Kami punya kebenaran sejarah, kami menghindari kejahatan dan kekerasan karena kejahatan n kekerasan tidak mendidik kami merebut kemenangan. Karena kejahatan n kekerasan adalah titik menuju kekalahan abadi.

Pembunuhan bukan sejarah kami, pembunuhan bukan budaya kami, pembunuhan bukan jati diri kami, pembunuhan bukan warisan kami, pembunuhan bukan hidup kami.

Kami punya sejarah sebagai KEBENARAN sejati kami maka kami tahu, mau dan sadar mengejar hak hidup yang diberikan oleh SANG PENCIPTA sebagai satu bangsa yang besar di atas tanah ini.

SEJARAH DAN KEBENARAN ADALAH HARGA HIDUP KAMI

Senin, 04 Juli 2016

MILITER, POLITIK DAN BISNIS PENGAMANAN


Foto Militer Indonesia di Papua Barat/ilustrasi
Oleh: Natho M  Pigai
Penempatan Pasukan TNI di Papua bagikan bisnis militer dan belajar berpolitik di tanah papua, TNI tidak menjalanikan sesuai fungsi dan tugas yang sebenaranya.

Selain itu, di sepanjang perbatasan PNG, TNI juga difungsikan sebagai penjaga perbatasan, sehingga pos-pos perbatasan didirikan. Namun demikian pos-pos tersebut tidak hanya didirikan disepanjang perbatasan, tapi juga di tengah kampung-kampung dan di lokasi-lokasi perusahaan. Tentara pada pos yang terdapat dikampung-kampung seringkali mengganggu penduduk, meminta makan, hingga melakukan tindak kriminal pembunuhan terhadap penduduk . Sedangkan aparat pada pos-pos di areal perusahaan selalu mendapat uang jajahan setiap bulannya dari perusahaan.

Sebenarnya pos-pos TNI di areal perusahaan tidak dibutuhkan. Keberadaan tentara dalam rangka operasi pembinaan juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketidak jelasan operasi ini dapat dilihat dari gangguan-gangguan keamanan terhadap perusahaan tidak berkurang, karena pada dasarnya justru gangguan keamanan datang dari pihak itu sendiri, disamping perusahaan harus mengeluarkan biaya pengamanan untuk TNI.  

Ada beberapa keuntungan bagi status politik dan bisnis tentara dengan membiarkan keberadaan pasukan dan segala aktifitasnya. Secara politik mempertahankan adanya gangguan keamanan berarti ketergantungan terhadap keberadaan pasukan, dan secara bisnis berarti tetap bertahannya sumber-sumber keuangan militer. Dengan hadirnya brimob di Papua bahwa anggota brimob juga banyak berlaku kasar pada rakyat sipil keberlangsungan bisnis antara TNI dan brimob.
  
Pada wilayah Perusahaan yang ada di Papua, paling tidak terdapat tiga Pos TNI yang bertugas menjaga perusahaan. Padahal Perusahaan tidak termasuk dalam katagori obyek vital yang harus diamankan, terkecuali perusahan raksasa yaitu, PT Freeport di Tembagapura Papua yang diakui untuk mengamankan oleh TNI.

Tentara adalah satu dari sekian banyak perusahaan yang memanfaatkan jasa pengamanan TNI, dan ini  bisnis yang dilakukan oleh pasukan dilapangan, karena mereka ditugaskan langsung dari Jakarta.

Kenyataan diatas mengungkapkan makin tidak jelasnya posisi Pos-pos tentara di wilayah Papua yang di miliki oleh tentara di setiap titik perusahaan yang ada di Papua. Jika sebelumnya tidak ada keberadaan  tentara disana, maka otomatis tidak ada lagi gangguan disana terhadap masyarakat sipil setempat.

Penulis Adalah anggota AMP KK Bandung

Selasa, 25 Agustus 2015

KENAPA INDONESIA TIDAK MAU MELEPASKAN WEST PAPUA

Foto Papua Freeport/ilutrasi
Introduction West Papua (red: Papua dan Papua Barat), seperti yang kita ketahui adalah sebuah pulau yang terdiri dari rumpun Melanesia, orang –orang yang memiliki suku, ras dan budaya yang sangat berbeda dari rumpun lain di Asia.

Sejarah terbentuknya pulau Papua pun, sangat tidak terkait (red: berbeda) dengan pulau-pulau yang di diami rumpun Melayu (Malay) ( sumber ) . Bangsa Indonesia sebenarnya sudah tahu, mereka (red: Indonesia) sebenarnya tidak harus pertahankan West Papua menjadi bagian dari mereka, tidak harus mengklaim West Papua dalam bangsa mereka. Bangsa Indonesia harusnya malu mencaplokan orang-orang West Papua dengan slogan “bineka tunggal ika”, karena West Papua “statusnya jelas”. 

Tetapi kenapa mereka masih mau pertahankan West Papua? Ada beberapa opini saya dalam membenarkan judul di atas adalah karena kekayaan pulau West Papua, menyempitnya lahan (tanah) kependudukan di pulau-pulau Indonesia ( cth. Jawa), ketaatan orang Papua yang di dalam system terhadap pusat (Jakarta), dan yang terakhir adalah isu global warming. Ada banyak alasan lain lagi bagi Indonesia dalam mempertahankan West Papua, namun keempat hal di atas adalah yang terutama dalam opini saya. 

*Kekayaan Alam West Papua
Sebagian besar kekayaan alam Indonesia terdapat di West Papua. Kekayaan alam West Papua meliputi hasil hutan, Laut, tambang, serta pantai, budaya, dan keanekaragaman hayati lainnya. Kabar baiknya, West Papua terdapat Uranium serta silicon dan batu bara. Kekayaan Alam Tanah Papua jika di kelolah kesuluruhan, maka Papua akan sama dengan negara–negara berkembang sekarang di Asia/Kawasan Australia. 

Bayangkan, beberapa hasil SDA Indonesia ( minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bouksit, tembaga, tanah subur, batu bara, emas, perak) kebanyakan berasal dari West Papua, seperti emas, tembaga, perak, gas alam, kayu, minyak,dan perikanan ( sumber ). Menguat dan melemahnya “Mr. Rupiah” adalah karena kekayaan alam West Papua.

*Kurang adanya lahan penduduk
Kesejahteraan penduduk ditentukan pula dari tempat (lahan) di mana masyarakat (orang) itu berada. Jika tengok ke daerah Jawa, hampir semua tempat di isi oleh perumahan. Penuh sesak. Hampir seluruh pulau penuh sesak. Indonesia terpaksa melirik dua pulau terluas di peta Indonesia, kirim penduduk ke Kalimantan (Borneo) atau West Papua. Pilihan ketiga bagi mereka adalah biarkan masyarakatnya hidup menderita di bawah kolong jembatan.

*Ketaatan orang Papua terhadap Jakarta
Selama orang Papua (yang dalam system) menaati segala produk hukum Jakarta, West Papua tetap diklaim bagian dari Indonesia. Indonesia akan tetap ‘ Picah otak’ dalam menciptakan segala bentuk aturan bagi West Papua. 

Buktinya, pemilu yang selalu dilaksanakan oleh orang West Papua dengan tetap menaati aturan-aturan pusat, serta Otsus ( aturannya tetap dari pusat) dan sekarang UP4B. Semua upaya akan mereka lakukan selama ada orang West Papua yang mendengar mereka. Produk hukum yang diciptakan pun, seperti pada beberapa pasal di KUHP tentang ‘makar’, sangat mengatur Rakyat West Papua supaya hanya mendengarkan pemerintah Indonesia (walaupun mereka salah). 

Sebenarnya Indonesia sudah malu dengan melihat hasil ‘otsus’ yang gagal total itu, tetapi karena ada orang West Papua yang masih
menginginkan ‘gula-gula’ dari Jakarta, maka dibentuklah UP4B serta memaksakan pemilihan MRP jilid II sebagai bagian dari keberlangsungan otsus di Tanah Papua.

Harapan saya adalah, semua elemen, yang namanya orang West Papua, tolak semua tawaran Indonesia, dan lawan untuk mencapai titik kedaulatan yang pernah dirahi. West Papuan bukan 25 tahun yang lalu lagi, sekarang West Papuan bisa!

*Isu Global Warming
Isu ini semakin global seiring dengan perkembangan teknologi dan industry di Bumi ini. Suhu di berbagai daerah semakin panas karena adanya isu global warming. Global warming adalah meningkatnya suhu ( temperature) rata-rata di Bumi karena ulah manusia. Dari ( sumber ) didapatkan bahwa, jika perubahan suhu semakin meingkat (panas) akan terjadi pencairan es di kutub. Diperkirakan akan meleleh sekitar 30 Juta meter kubik dan penambahan permukaan air laut akan mencapai 60-70 meter. Kira- kira, daerah Jawa masih bisa selamat ka?? Kemungkinan isu ini juga membuat Indonesia tetap mempertahankan pulau Papua, supaya kelak melakukan upaya penyelamatan. 

Tetunya masih ada banyak alasan Indonesia mempertahan West Papua. Bukan hanya 4 hal yang saya kemukakan di atas. 

Trimaksih kepada seluruh pembaca budiman yang baik, berbagai saran saya tunggu. Kritik dengan solusi adalah hal yang
paling membangun, saya harapkan itu juga. 


Dikutip dari: Catatan Facebook Yesang M. Uropmabin

Kamis, 07 Mei 2015

MILITERISME BUKAN SOLUSI DI PAPUA


Foto Kekerasan di Tanah Papua/ilustrasi

 OLEH: Honaratus Pigai

Kekerasan demi kekerasan terus terjadi di Tanah Papua. Kebijakan demi kebijakan sebagai tawaran solusi atas konflik kekerasan  yang diterapkan Pemerintah pusat pun terus mengalir. Sayangnya, tawaran solusi itu belum mampu menyelesaikan kekerasan yang terjadi. Sungguh tragis, karena situasi ini tidak akan berakhir tanpa upaya mendekati persoalan secara lebih mendalam dan dengan positif thingkin serta mendengar persoalan dengan hati terbuka. Pemerintahan pusat dapat dikatakan belum mampu memahami persoalan. Ketidakmampuan pemerintah pusat berbuah kegagalan. Kegagalan pemerintah pusat dalam menangani persoalan Papua nampak amat jelas, bahwa konflik kekerasan masih saja terjadi hingga kini. Walaupun tawaran solusi sudah dan sedang berjalan. Ini berarti pemerintah belum mampu dan gagal menyentuh akar pesoalan sebenarnya. 

Kita lihat fakta yang terjadi, selain kebijakan-kebijakan (Otsus, UP4B, Otsus Plus dan sederetan kebijakan), pemerintah pusat merespon setiap persoalan di Papua, justru dengan pendekatan militeristik. Pendropan militer dilakukan dalam jumlah yang amat tidak sedikit. Diharapkan pendropingan militer itu dapat menyelesaikan prsoalan, tetapi malah persoalan menjadi makin rumit. Kalau kenyataannya demikian adanya, maka pendropingan pasukan militer, bolehdikatakan bukan menyelesaikan atau mengamankan situasi. Kalau demikian, tidak heran bila masyarakat Papua tidak percaya lagi kepada militer Indonesia. Situasi seperti demikian terus berulang, seakan tak pernah ada evaluasi.


Pengalaman setidaknya mengajarkan kita, bahwa keputusan yang berangkat dari pemikiran dangkal dan berwatak kolonial semacam ini hanya akan memancing persoalan baru yang memperburuk keadaan. Tetapi malah membuat situasi semakin tidak aman, padahal situasi semacam demikian mengajak kita untuk harus mencari solusi yang bermartabat dan tepat. Situasi yang dapat membangun rakyat yang adil dan beradab.
Terkadang pelanggaran Hak Azasi Manusia, ditutup-tutupi dengan dalih mempertahankan keutuhan negara republik. Hak kemanusiaan sebagai manusia tidak diperhitungkan, malah manusia dianggap bukan manusia. Di sini pemerintah pusat belum mampu menempatkan nilai manusia secara tepat. Lihat saja, manusia diperlakukan tidak adil dan manusiawi. Kalau demikian pertanyaan yang bisa muncul adalah, apa yang dipentingkan pemerintah pusat? Apakah manusia tidak perlu mendapat penghormatan dan perlindungan?

Di Papua terdapat kekhususan dan keumuman sejarah yang melekat pada Papua, kalau disandingkan dengan suku-bangsa lain di Indoneisa. Sebagaimana terhadap daerah lain, Soekarno berusaha “memenangkan” Papua untuk bergabung dengan Republik Indonesia dalam semangat anti-kolonialisme. Dalam konteks tersebut, defenisi Indonesia adalah kemerdekaan bagi bangsa-bangsa Nusantara dari cengkraman kolonial Belanda. Indonesia mempunyai visi tentang jembatan emas, untuk mewujudkan masyarakat tanpa penindasan bangsa atas bangsa dan tanpa penindasan manusia atas manusia. Artinya, Soekarno telah membayangkan bahwa Rakyat Papua akan berada di atas jembatan emas yang sama dengan bangsa-bangsa lain yang bersatu dalam sebuah nation-state bernama Indonesia.

Namun yang terjadi antara tahun 1965-1968 impian Jembatan Emas buyar. Soekarno tak sempat membuktikan komitmen anti-kolonialnya secara otentik di hadapan mayoritas Rakyat khususnya Papua. Di bawah kekuasaan Soeharto, pendekatan terhadap Papua lebih kental dengan praktik militeristik, mulai dari Maklumat TRIKORA hingga Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM).

Persoalan yang menyejarah di Papua yang menjadi “memoria passionis” dan “Sejarah Buram” Indonesia di Papua, oleh sebagaian kalangan, telah dikembangkan menjadi gugatan terhadap Ke-Indonesia-an orang Papua. Gugatan yang kontroversial ini mengarah pada sebuah pertanyaan sensitif: apakah merdeka dan berdaulat sebagai sebuah bangsa yang terpisah merupakan pilihan terbaik saat ini untuk Papua? Jawaban akhirnya akan berpulang pada rakyat Papua sendiri.

Bagi Rakyat Papua, penting diingat, bahwa pendekatan militeristik sudah tidak mapan lagi menyelesaikan persoalan menyejarah yang ada di Papua. Apalagi pendekatan yang dilakukan oleh Indonesia melalui kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai solusi (otsus, Otsus Plus, UP4B). Solusi yang semakin tidak jelas sudah seharusnya diterangkan kembali dengan mempertemukan pihak Indonesia dan Papua untuk menjawabnya bersama.

Pendekatan militeristik dan kebijakan-kebijakan pemerintah (yang dipandang sebagai solusi) sudah terbukti jelas dan terang benerang tidak mampu menyelesaikan persoalan. Persoalan masih saja terjadi. Maka cara pandang Indonesia untuk menyelesaikan masalah Papua harus dirubah.

Melihat situasi Papua yang tak-karuan atas tindakan Indonesia yang belum mampu memihak rakyat Papua, mengajak kita untuk perlu merancang solusi yang bukan diinginkan oleh pemerintah pusat, tetapi oleh rakyat. Pemerintah mesti mendengar dan menjawab keinginan dan kemauan rakyat Papua.

Akar masalah mesti dicabut dengan pendekatan-pendekatan bermartabat. Salah satu jalan yang ditwarkan oleh rakyat Papua melalui Jaringan Damai Papua (JDP) dan LIPI adalah dialog. Dialog yang bermartabat untuk membahas segala macam persoalan dan pelanggaran-pelanggaran HAM yang sudah menyejaran dan masih terjadi ini. Maka dialog antara Jakarta dan Papua sangat perlu dilakukan dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
Karena itu, pemerintah pusat dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo, diharapkan dapat membuka diri dan mendengar dengan hati persoalan Papua. Jika tidak diseriusi akan terkesan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi pun masih ingin mempertahankan konflik terus berlanjut di Papua. Maka menjadi tugas besar bagi Jokowi agar bisa mempertemukan dua kubu yang bertikai (Indonesia dan Papua) untuk berdialog dengan penuh bermartabat tanpa merugikan satu pihak pun.**

Rabu, 25 Maret 2015

KASUS YAHUKIMO, INI TRIK PEMBOHONGAN POLDA PAPUA


 Oleh: Victor F. Yeimo
Ketua Umum KNPB, Victor F. Yeimo
Dalam kasus kericuhan di Yahukimo, ada pembohongan, ada skenario kriminalisasi gerakan damai rakyat sipil yang dimediasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB), ada juga dan ini yang utama, pengalihan opini dari penembakan 5 warga sipil di Paniai oleh anggota Polda Papua yang belum mau diungkap oleh Polda Papua. Tetapi juga, ini hanyalah taktik yang bertujuan menyukseskan strategi Kepolisian yang lebih besar yakni perluasan Markas Komando (Mako) Brimob dan promosi jabatan Kepolisian.

surapapua.com, —Bila kita telusuri, tidak satu pun fakta kebenaran yang mampu diungkap dari setiap kejahatan yang dibuat oleh Polisi yang bertugas di Papua. Dari Kapolda berganti Kapolda menunjukan pola yang sama. Kebohongan polisi didukung wartawan bayaran yang beroperasi di berbagai media lokal dan nasional Indonesia. Sangat disayangkan, dalam dunia teknologi dan informasi yang begitu terbuka luas, fakta yang hendak ditutupi tidak mampu tertutupi, sehingga pola pengalihan dibuat.

Kicauan Kapolda Papua kepada Presiden Jokowoi dan DPR-RI Komisi III untuk bubarkan KNPB membuktikan pengalihan itu. Presiden Jokowi, bahkwan Komis III DPR-RI bidang hukum dan HAM, Benny K Harman saat berkunjung ke Polda Papua beberapa waktu lalu mendesak agar menuntaskan kasus penembakan sejumlah warga sipil di Kabupaten Paniai 8 Desember 2014 yang hingga kini pelakunya belum terungkap.

Untuk menutupi kasus Paniai dari sorotan DPR-RI dan Jokowi, Kapolda sengaja mengirim Brimob Polda Papua ke Yahukimo untuk melakukan penembakan kepada rakyat sipil yang sedang melaksanakan ibadah penutupan penggalangan dana kemanusiaan untuk bencana Vanuatu.

Padahal, aksi penggalangan dana di Yahukimo itu sudah berjalan aman 6 hari atas kesepahaman bersama Kapolres Yahukimo dan Pengurus KNPB, dan bila dibiarkan sudah tentu akan aman seperti biasa. Ini semata-mata dilakukan agar menjadi opini nasional sehingga kasus Paniai tertutupi.

Polisi yang membabi buta menyerang massa menewaskan 1 warga sipil, 6 orang tertembak masih di rawat, dan belasan warga sipil ditangkap dan disiksa. Sementara 14 rumah warga dibongkar polisi. Kapolda justru meminta wartawan untuk tidak berpihak pada KNPB dan memberitakan versi kebohongan Polda Papua.

Buktinya, KNPB telah bertandang ke Polda Papua untuk menjelaskan bahwa KNPB sedang mencari Senjata Api yang dirampas warga dari Polisi, dan setelah KNPB mencari dan mendapatkan dari warga dan mengembalikan ke Polisi melalui Gereja justru Polisi kembali menuduh bahwa mereka mendapatkan Senjata Api di Sekreatariat KNPB saat Penggrebekan.

Media Indonesia mengutip dan membesarkan pembohongan itu. Dan lagi-lagi, inilah strategi Polda menghindar dari kejahatan penembakan dan pengrusakan yang dilakukan Polisi di Yahukimo, karena tujuan Polda Papua adalah mengambil alih opini nasional untuk menutupi kasus kejahatan yang sedang dilakukan oleh Polisi di Papua.

Sebelumnya, tentu Kapolda memainkan pengalihan opini dengan kasus Penembakan yang dituduhkan kepada Ayub Waker di Timika (1/12/2014). Kemudian, Polda Papua melalui Polres Nabire juga melakukan penangkapan dan penggrebekan secara membabi buta terhadap anggota KNPB di Nabire, dimana barang-barang berharga seperti Laptop dan Handphone milik warga belum dikembalikan. Skenario ini berlanjut sampai di Merauke dengan penempatan Bom di depan Kantor KNPB Merauke oleh oknum Polisi (5/3/2015), yang kemudian Polisi merusak Kantor KNPB Merauke.

Inilah rangkaian pembohongan, skenario kriminalisasi dan pengalihan yang terang-terangan dilakukan untuk menutupi kejahatan Polisi di Papua. Sementara strategi yang lebih besar adalah menjadikan gerakan damai rakyat sipil Papua sebagai kriminal agar proyek promosi jabatan para petinggi kepolisian dan perluasan markas brimob dapat tercapai.

Kita bisa mencermati secara terbuka bahwa Kapolda “ngotot” membuka Mako Brimob di Wamena ditengah penolakan yang dilontarkan oleh berbagai lapisan masyarakat di Jayawijaya. Wilayah pegunungan yang sudah hidup tenang dan damai dijadikan wilayah konflik. KNPB Yahukimo yang selama ini memediasi aksi damai rakyat diganggu Polisi agar tercipta konflik, dengan demikian Pembangunan Mako Brimob dapat terealisasi cepat di Jayawijaya.

Adalah strategi lasim yang tidak perlu ditutupi oleh Polda Papua. Sebab, rakyat yang berjuang untuk Papua Merdeka tidak bersembunyi dan tersembunyi. Perjuangan itu ada di hati seluruh orang Papua yang ada diatas teritori West Papua. Itu fakta dan bukan hal baru. Yang fenomenal dan membudaya adalah kelakukan dan kiat-kiat kolonialisme yang masih menggunakan pola lama dalam masa yang sudah terbuka luas.

Semua orang tahu bahwa ciri-ciri seorang pembohong adalah orang yang selalu berkeras kepala menyalakan orang atau pihak lain. Bila Kapolda terus menyalahkan KNPB, semua orang akan semakin tahu pembohongan bersumber dari mana.(Sumber: suarapapua.com)

*Penulis adalah Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB).