Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Juli 2016

DURI DIALOG INDONESIA TENTANG PAPUA


Rabu, 20 Juli, 2016, Aksi solidaritas dari Jaringan Salatiga Peduli Papua (JSPP) yang mendukung agar mahasiswa Papua di Yogyakarta dapat bebas menyerukan aspirasinya, tanpa intervensi verbal maupun fisik. Mimbar bebas ini digelar di muka gerbang kampus UKSW. | Dok.scientiarum.com/David Adhyaprawira



Untuk berdialog tentang Papua, baiknya membaca buku “Kita Lebih Bodoh Dari Generasi Soekarno-Hatta”. Buku ini berlatar kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dan bagaimana kelanjutan nasib berbangsa dan bernegara bagi Indonesia. Menariknya, di dalam buku ini ada wawancara sejumlah tokoh dari Romo Mangun, Gus Dur, Daniel S. Lev dan sosiolog Arief Budiman. Arief Budiman, menerangkan, bahwa, “Protes adalah politik, ya harus dihadapi dengan dialog bukan dengan senjata dan kekerasan.”

Kurang lebih 18 tahun buku tersebut telah terbit dan era reformasi telah datang. Salah satu tanda hadirnya reformasi adalah kebebasan berekspresi yang tidak lagi takut ditangkap, dipenjara bahkan hilang entah kemana. Indonesia pasca 1998 adalah surga bagi kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan itu mungkin barang yang mahal bagi mahasiswa Papua di Yogyakarta dan sebagian orang lainnya.

Beritanya sudah di mana-mana. 15 Juli 2016, kekerasan masih terjadi untuk Papua. Memang, kekerasan represif di tubuh Republik Indonesia ini tidak saja dialami oleh orang-orang Papua secara tunggal, namun kebijakan reformasi bagi Papua dirasa masih jauh dari rasa keadilan pun kesejahteraan. Tak pelak, pemberitaan media dan cara pandang perorangan terhadap Papua pun menjurus pada diskriminasi. Kenapa hal ini terjadi?

Sejarah Indonesia di masa lampau baik dari zaman kolonial ke Soekarno, kemudian diamanatkan ke Presiden Soeharto, adalah sejarah kekerasan. Indonesia akan berumur 71 tahun pada bulan Agustus tahun 2016 ini, akan tetapi kekuasaan dan kekerasan masih saja menyertainya. Jika dihitung tahun 1945 ke 1966, 21 tahun Presiden Soekarno berkuasa dan di era tersebut adalah masa konsolidasi kekuasaan ideologi-ideologi yang saling bersaing untuk mendukung revolusi. Kemudian pasca G30S pada 1965, “Jenderal yang Selalu Tersenyum” itu menjadi presiden menggantikan Soekarno sampai lengser di tahun 1998. Akumulasi masa pemerintahannya? Jelas, 32 tahun. Semasa Soeharto memerintah, ada ragam persoalan. Mulai tentang Papua, Aceh dan Timor-Timur. Persoalan disintegrasi ini berlangsung mulai 1975 dan belum selesai hingga kini. Hantu Daerah Operasi Militer (DOM) masih melanglangbuana. Inilah yang masih menjadi soal silang sengkarutnya. Wajah dan cerita kekerasan dari Aceh, Papua dan Timor Leste kini adalah sebuah sejarah yang masih dituliskan dan dituturkan secara turun temurun dari generasi tua ke muda.

Saya pernah mengalami sendiri apa yang sebenarnya dirasakan oleh mahasiswa Tim-Tim saat menjelang referendum 1999 di kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Saat itu, saya bertanya dalam suatu diskusi soal referendum, apakah jalan satu-satunya harus merdeka,  dan kenapa? Jawabannya pun beraneka ragam namun satu yang terngiang adalah: “Kamu di Jawa tidak merasakan bagaimana rumahmu diambil, kakakmu dibunuh dan tetanggamu ditembak di depan matamu sendiri sedangkan kamu dalam keadaan terikat dan disuruh melihat apa yang terjadi.”

Cerita tersebut adalah fakta; dan suka tidak suka, Orde Baru dengan DOM-nya meninggalkan fakta yang pedih bagi generasi selanjutnya di Indonesia. Kekerasan, stigma dan segregasi berdasarkan agama dan warna kulit itu adalah fakta. Kenyataan lain yang tak bisa dihindarkan adalah kesenjangan ekonomi antara pulau Jawa dengan daerah-daerah lain yang masih dianggap tertinggal. Dan sayangnya, persoalan seputar kesejahteraan warga negara seharusnya dapat dibicarakan, namun nyatanya cuma mimpi. Jadi dapatlah dikatakan, berdasarkan fakta-fakta di atas, bahwa rekonsiliasi baru terjadi pada tahun 1998 dan itu berarti masih berumur 18 tahun usianya. Setua era reformasi. Di kala provinsi Papua sedang belajar berdialog, sebaliknya, kebijakan negara masih belum berevolusi dari insting predatornya.

Bagaimana ke depannya? Elit dan aparatur negara, khususnya Kepolisian Republik Indonesia lebih dapat menahan diri, mengedepankan dialog bernuansa sejarah etnik keindonesian yang memang plural sejak mulanya. Sejatinya sambil menunggu buah-buah dari Otonomi Khusus itu menjadi ranum dan siap dipetik dan bagi publik dan media agar lebih berhati-hati dalam menyajikan fakta dan berita dari provinsi-provinsi yang mana wajah kekerasan masih menghantui sebagai akibat dari kebijakan di masa lampau. Terakhir, yang tidak kalah penting adalah masalah ideologi yang tidak mudah dikalahkan begitu saja oleh pendekatan ekonomi semata, apalagi dengan kekerasan. Jalan yang beradab satu-satunya bagi Indonesia modern adalah dengan DIALOG. Walaupun menyakitkan dan panjang, dialog pasti akan berbuah manis.


Sunny Batubara, alumni Fakultas Ekonomi UKSW. Kini menetap di Denpasar, Bali. Staf Jangkang Riset Institute.

Sumber : http://scientiarum.com/2016/07/21/duri-dialog-indonesia-tentang-papua/

Senin, 11 Agustus 2014

ORANG PAPUA TIDAK PERNAH BERJUANG UNTUK INDONESIA MERDEKA

Perjuangan Papua Merdeka  (ist)

Mengapa KNPB menyerukan kepada orang Papua untuk memboikot atau tidak ikut serta dalam perayaan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2014? Jawabannya karena tidak pernah orang Papua berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Mari kita cermati sejarah.

Sejarah Perjuangan Indonesia dan Perjuangan Papua Barat membuktikan bahwa, Indonesia masa perjuangan sampai dengan proklamasi kemerdekaan wilayah teritorial atau batas negara  Indonesia (Sabang sampai di Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. 

Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.  Sedangkan, kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke. 


Tahun 1908, Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya.
Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan  musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing. 

Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu. 

Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.

Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah  bangsa Negroid, ras Melanesia, maka  biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945. 

Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).  Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat. (Catatan Ones Suhuniap, Sekretaris Umm KNPB)
Sejak Indonesia mencaplok dan menganeksasi wilayah teritori West Papua pada tahun 1962, Indonesia terus memaksakan nasionalisme Indonesia kepada orang Papua yang berbeda sejarah tadi. Saat ini, pejabat-pejabat Papua yang sedang mengabdi dan menjadi budak penguasa kolonial  sedang memaksa rakyat untuk merayakan kemerdekaan 17 Agustus 2014. Mereka paksa orang Papua untk kibarkan bendera Merah Putih, sebuah bendera yang tidak pernah ada dalam sejarah perjuangan bangsa Papua.

KNPB telah menghimbau orang Papua untuk tidak terlibat dalam merayakannya. Orang Papua tidak perlu ikut-ikutan dalam sejarah milik bangsa lain. Orang Papua harus berdiri pada sejarahnya sendiri. KNPB menghimbau rakyat untuk tidak terhasut dengan rayuan penjajah, karena orang Papua harus menentukan nasibnya sendiri tanpa ditentukan oleh Indonesia.