Dalam hal nikah, hukum Islam mengenal lima kategori hukum yang lazim dikenal dengan sebutan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima), yakni:
1. Pernikahan wajib (az-zawaj al-wajib)
Yaitu pernikahan yang harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah (berumah tangga) serta memiliki nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir dirinya melakukan perbuatan zina manakala tidak melakukan pernikahan. Keharusan menikah ini didasarkan atas alasan bahwa mempertahankan kehormatan diri dari kemungkinan berbuat zina adalah wajib. Dan satu-satunya sarana untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina itu adalah nikah, maka menikah menjadi wajib bagi orang yang seperti ini.
2. Pernikahan yang dianjurkan (az-zawaj al-mustahab)
Yaitu pernikahan yang dianjurkan kepada seseorang yang mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis tetapi dia merasa mampu untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan melakukan zina. Orang yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, serta sehat jasmani dalam artian memiliki nafsu syahwat (tidak impoten), maka dia tetap dianjurkan supaya menikah meskipun orang yang bersangkutan merasa mampu untuk memelihara kehormatan dirinya dan kemungkinan melakukan pelanggaran seksual, khususnya zina. Sebab, Islam pada dasarnya tidak menyukai pemeluknya yang membujang semur hidup (tabattul). Sebagaimana hadits Nabi SAW :
عَنْ عَبْدِ الله قَا لَ قَالَ لَنَا رَسُو لُ الله صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَا بِ مَنِ اسْتَطَا عَ مِنْكُمُ الْبَا ءَ ةَ فَلْيَتَزَ وَّ جُ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وّاَحْصَنُ لِلْفَرْ جِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِاالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَا ءٌ (اخرجه مسلم في كتا ب النكا ح
Artinya: Dari Abdillah berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami, “hai para pemuda barang siapa diri kalian mampu untuk menikah maka menikahlah, sesungguhnya nikah itu menundukkan pandangan dan menjaga farji (kehormatan). Dan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu baginya sebagai penahan. (diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Nikah).[2]
3. Pernikahan yang kurang atau tidak disukai (az-zawaj al-makruh)
Yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan biaya hidup meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis meskipun memiliki kemampuan ekonomi, tetapi ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai membahayakan salah satu pihak khususnya istri. Jika kondisi seseorang seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan, maka pernikahan kurang (tidak disukai) karena pernikahan yang dilakukannya besar kemungkinan menimbulkan hal-hal yang kurang disukai oleh salah satu pihak.
4. Pernikahan yang dibolehkan (az-zawaj al-mubah)
Yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa ada factor-faktor yang mendorong (memaksa) atau yang menghalang-halangi. Pernikahan ibahah inilah yang umum terjadi di tengah-tengah masyarakat luas, dan oleh kebanyakan ulama’ dinyatakan sebagai hukum dasar atau hukum asal dari nikah.[3]
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan bagi orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan pengahambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.[4]
5. Pernikahan yang diharamkan ( larangan keras)
Yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi oran tersebut adalah haram. Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat untuk mencapai yang haram secara pasti, sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga. Jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikah menjadi haram untuknya.[5]
Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah disyari’atkan dalam Islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah kemaslahatan ini tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya, kerusakan, dan penganiayaan. Disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195 juga telah melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan:
195. ...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...,
Selain tersebut di atas, haram pula hukumnya suatu pernikahan apabila seseorang menikah dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, masalah wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain.[6]
Sedangkan macam-macam nikah yang diharamkan menurut syari’at adalah antara lain sebagai berikut :
a. Nikah Badal (tukar menukar istri)
Yaitu seorang laki-laki mengadakan perjanjian untuk menyarahkan istrinya kepada orang lain dan mengambil istri orang lain itu sebagai istrinya dengan memberi sejumlah uang tambahan.[7]
b. Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.
فَأَمَّا أَنْ يَشْتَرِطَ التَّوْقِيتَ فَهَذَا ” نِكَاحُ الْمُتْعَةِ ” الَّذِي اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِهِ … وَأَمَّا إذَا نَوَى الزَّوْجُ الْأَجَلَ وَلَمْ يُظْهِرْهُ لِلْمَرْأَةِ : فَهَذَا فِيهِ نِزَاعٌ : يُرَخِّصُ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَيَكْرَهُهُ مَالِكٌ وَأَحْمَد وَغَيْرُهُمَا
“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya oleh empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita (nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 107-108)
Nikah ini dilarang berdasarkan hadist Nabi:
عن عليّ بن ابي طالب رضي الله عنه انّ رسول الله ص م نهى عن متعة النّساء يوم حيبر
Dari Ali bin Abi Tholib, Ia berkata: sesungguhnya Rasul saw melarang nikah mut’ah dengan perempuan-perempuan pada waktu perang khaibar.
c. Nikah Syighar
Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah seorang laki-laki berkata “ janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan sebelum aku juga mengangkat kaki anak perempuanmu ‘
Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu”
B. Hikmatun Nikah
Islam menganjurkan nikah sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seuruh umat manusia. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks. Dengan nikah badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.
Keadaan yang seperti inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Rum : 21)
2. Nikah jalan terbaik bagi kebaikan anak-anak, memperbanyak keturunan, kelestarian hidup serta memelihara nasab dengan baik yang memang sepenuhnya diperhatikan oleh Islam.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling lengkap melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang, ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Juga dapat mendorong mengeksploitasi kekayaan alam yang dikaruniai Allah untuk kepentingan hidup manusia.
5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab atara suami isteri dalam menanggung tugas-tugasnya.
6. Dengan pernikahan dapat membuahkan diantaranya tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antar keluarga dan mempererat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling tunjang menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia
7. Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian “NATIONAL” terbitan Sabtu 6 Juni 1959 mengatakan: “Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang-orang yang tidak bersuami istri baik karena menjanda, tercerai atau sengaja membujang.[8]
Sedangkan menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi diantara hikmah-hikmah dari pernikahan adalah:
1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan
2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur.
3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi mamakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.
4. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. Istri berfungsi sebagai teman dalam suka dan penolong dalam mengatur kehidupan. Seperti dalam firman Allah surat Al-A’raaf ayat 189:
Artinya: Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya....
5. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya.
6. Pernikahan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Didalamnya terdapat faedah yang banyak, antara lain memelihara hak-hak dalam warisan.
7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit. Pernikahan pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak.
8. Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila masih meninggalkan anak dan istri, mereka akan mendo’akannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak.[9]
[1] M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar, FIQIH CINTA KASIH RAHASIA KEBAHAGIAAN RUMAH TANGGA, (Kairo: Erlangga, 2008), hlm.2
[2] Imam Abi Husain Muslim bin al-Hajj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shohih Muslim, (Beirut: Darul Kutub al-Alamiyah, tth), hlm. 593
[3] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), hlm. 91-93
[4] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010) hlm. 21
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah,Nikah, dan Talak),(Jakarta: Amzah, 2009) hlm. 45
[6] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid II, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 47
[8]M. Bukhori,Hubungan Seks Menurut Islam, (Jakarta: BUMI AKSARA,1994), hlm. 7-10
[9] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat,..., hlm. 65-68
0 komentar:
Posting Komentar