foto/dtc |
Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meragukan komintmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Khususnya dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu.
Selama ini Jokowi berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Yati Andriani berharap, janji itu segera direalisasikan.
"Kami menangkap kesan bahwa ini hanya akan diarahkan ke rekonsiliasi. sebenarnya dia (Jokowi-red) itu nggak singkron dengan anak buahnya. Seperti contoh Wapres JK yang bilang bahwa negara nggak bisa minta maaf soal pelanggaran HAM ini. kemudian Menkopolhukam Tedjo Edi yang bilang jangan ingat masa lalu. Jokowi harus ingat di Papua 70 persen memilih dia. Maka dari itu jangan di papua hanya dibuat pasar atau memberikan uang, namun kasus Paniai tidak diperhatikan. penyelesaikan kasus seperti ini perlu diperhatikan. Apa yang kami sampaikan bukan hanya analisis. namun realita saat pendampinganpendampingan kasus pelanggaran HAM," kata Yati.
Pernyataan tersebut disampaikan Yati dalam jumpa pers di Cheese Cake Factory, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (14/12/2014). Di situ juga hadir Koordinator KontraS Haris Azhar, Kepala Litbang KontraS Puri Kencana Putri, dan lainnya.
Haris pun menyampaikan kritik senada. Katanya, Jokowi bicara kasus lumpur Lapindo, namun tak bicara kasus penghilangan orang. Bicara soal pembakaran kapal asing, tapi tak bicara perdamaian di Papua. "Seperti itu tak membawa perubahan apapun," ucapnya.
"Tidak usahlah kita dikasih lihat ada (menteri-red) yang naik pagar, megang batu bata di tengah orang miskin. Ke depan kita akan dibawa oleh suatu rezim yang kawan-kawan akan dibawa pada blusukannya. Harusnya Jokowi bisa blusukan ke kantor BIN dan rumah Suciwati di malang. Tapi dia tidak melakukannya," sambung Haris.
Haris kemudian menyebut 8 catatannya terhadap pemerintahan Jokowi.
1. Negara masih belum mengharmonisasikan peaturan perundang-undangan yang potensial melakukan intervensi atas pilihan keyakinan agama dan wujud ibadah dari tiap-tiap individu warga negara.
2. Negara masih belum memberikan jaminan perlindungan terhadap pembelaan di Indonesia, contohnya kriminalisasi yang dialami oleh aktivis Eva Bande.
3. Pernyataan kontroversial Jokowi untuk tetap melaksanakan agenda eksekusi terhadap 20 terpidana hukuman mati di tahun 2015.
4. Penuntasan kasus kematian Munir yang sarat dengan politik kepentingan penguasa, dijawab negara dengan memberikan pembebasan bersyarat kepada Polycarpus.
5. Rencana perluasan Kodam di Papua adalah jawaban negara tanpa pernah memeriksa kembali agenda dari politik keamanan Indonesia di Papua.
6. Ketidaksolidan agenda deradikalisasi dalam isu anti terorisme.
7. Dugaan keterlibatan aktif Indonesia dalam praktik sistematis dan meluasnya penyiksaan pada agenda perang melawan terorisme pada periode 2002-2007 yang saat itu BIN-nya dipimpin AM Hendropriyono.
8. Minim evaluasi agenda pembangunan yang potensial merugikan publik seperti yang tercatat pada MP3EI yang tidak diikuti dengan agenda resolusi konflik di sektor bisnis dan HAM.(http://analisadaily.com)
0 komentar:
Posting Komentar