Jumat, 24 Juni 2016

Sejarah Sastra : Sastra Angkatan 70-an



Angkatan 70

Istilah ini pertama kali diperkenankan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya “Peta-peta perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”, yang diajukan dalam diskusi sastra memperingati ulang tahun ke-5 majalah ( TIFA SASTRA ) di Fakultas Sastra UI (25 Mei 1977). Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam majalah Budaya Jaya (September  1977) dan dalam satyagraha Hoerip (ed) Sejumlah Masalah Sastra (1982).
Menurut Dami, Angkatan 70 “dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah”, dan “Nyanyian Angsa”, juga semakin nyata dalam wawasan estetika perpuisian  Sutardji Calzoum Bachri, dan cerpen- cerpen dari Danarto, macam “Godlob”, “Rintik”, dan “sebangsanya”.
Pengarang yang dapat dikelompokkan dalam Angkatan 70—an adalah Iwan Simatupang, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, dll.
Sehubungan dengan nama Angkatan 70-an, Korie Layun Rampan menyebutnya dengan Angkatan 80-an.

SASTRA KONSTEKTUAL
                Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ariel Heryanto pada Sarasehan Kesenian di Solo, 28-29 Oktober 1984. Menurut Ariel, sastra kontekstual adalah “sejenis pemahaman atas seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial-historis kesusastraan yang bersangkutan. Bukan sejenis karya sastra.

KARYA SASTRA
1.       Konsepsi
Berbicara tentang konsepsi sastra masa 70-an, tidak setransparan sastra angkatan 45 dan 66. Di masa ini tidak ada peristiwa besar seperti  angkatan 45 dan 66. Konsepsi  sastra masa ini (70-an) dapat dikatakan sebagai “protes”  terhadap kepincingan-kepincingan masyarakat pada awal industrialisasi.
               
                Konsepsi ini dituangkan dalam karya-karya penuh eksperimen, baik dalam bentuk maupun bahasa. Karya masa ini menunjukkan karakter yang berbeda dengan karya sastra sebelumya.Perbedaan karakter inilah yang menajdikan karya-karya masa ini digolongkan pada golongan yang berbeda dengan Angkatan 66.

2.       Ciri-ciri
Pada masa ini,para pengarang  sangat bebas bereksperimen dalam penggunaan bahasa bahasa dan bentuk. Seperti dikatakan Ajip Rosidi (1977:6), dalam Lautan Biru Langit Biru, bahwa : mereka seakan-akan ingin menjajagi sampai batas kemungkinan bahasa Indonesia sebagai alat pengucapan sastra, di samping mencoba batas-batas kemungkinan berbagai bentuk, baik prosa mapun puisi, sehingga perbedaan antara prosa dan puisi kian tidak jelas.
a.       Puisi
Struktur Fisik
1.       Puisi bergaya mantera menggunakan sarana kepuitisan berupa : ulangan kata, frasa, atau kalimat. Gaya bahasa paralelisme dikombinasikan dengan gaya hiperbola untuk memperoleh efek yang sebesar-besarnya, serta menonjolkan tipografi;
2.       Puisi kongkret sebagai eksperimen;
3.       Banyak menggunakan kata-kata daerah untuk memberi kesan ekspresif;
4.       Banyak menggunakan permainan bunyi;
5.       Gaya penulisan yang prosais;
6.       Menggunakan kata yang sebelumnya tabu.
Struktur Tematik
1.       Protes terhadap kepincingan masyarakat pada awal industrialisasi
2.       Kesadaran bahwa aspek manusia merupakan subyek dan bukan obyek pembangunan;
3.       Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistis;
4.       Cerita dan pelukisan bersifat alegoris atau parabel;
5.       Perjuangan hak azasi manusia: kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari pencemaran teknologi modern;
6.       Kritik sosial terhadap si kuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah, dan kritik terhadap penyeleweng

b.      Prosa dan Drama
Struktur Fisik
1.       Melepaskan ciri konvensional, menggunakan pola sastra “absurd” dalam tema, alur, tokoh, maupun latar;
2.       Menampakkan ciri latar kedaerahan “warna lokal”
Struktur Tematik
1.       Sosial: politik, kemiskinan, dll;
2.       Kejiwaan
3.       Metafisik.
Media
                Pada masa 70-an para penulis menggunakan media buku, majalah, maupun koran untuk mempublikasikan karya-karyanya. Sebagai contoh, Sutardji mempublikasikan karyanya berupa puisi, dan cerpen di koran harian, begitu pula Mangunwijaya yang mempublikasikan novel Khotbah di atas Bukit sebagai cerita di koran sebelum mempublikasikannya dalam media buku.

                Pada masa kini bahkan dimungkinkan untuk mempublikasikan karya sastra menggunakan media elektronik; televisi dan internet.

0 komentar:

Posting Komentar