Suprasegmental adalah unsur yang “menemani” dan memengaruhi bunyi bahasa, dan bukan bunyi sejati. Dan karena bukan bunyi sejati itulah sehingga unsur suprasegmental dinamakan demikian. Unsur suprasegmental disebut juga prosodi.
Cara yang paling mudah untuk memahami unsur suprasegmental adalah melalui pendekatan fonetik akustik. Ada dua sifat akustik yang berpengaruh dalam unsur suprasegmental yaitu frekuensi dan amplitudo. Kedua unsur ini sangat berpengaruh dalam unsur suprasegmental yang sangat berkaitan.
Verhaar (2010) menjelaskan bahwa bunyi-bunyi suprasegmental tersebut meliputi intonansi, nada, aksen dan tekanan. Sebenarnya, uraian fonetis tentang bunyi-bunyi suprasegmental hanya merupakan dasar saja untuk uraian fonemis. Namun dalam banyak hal segi fonetis dan fonemis tiak mudah dibedakan.
Sedangkan Muslich (2010) menjelaskan bahwa bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa disegmen-segmenkan, diruas-ruaskan, atau dipisah-pisahkan, misalnya semua bunyi vokoid dan kontoid. Bunyi-bunyi yang bisa disegmentasikan ini disebut bunyi segmental. Tetapi, ada juga bunyi yang tidak dapat disegmen-segmenkan karena kehadirannya kehadirannya bunyi ini selalu mengiringi, menindih, atau
menemani bunyi segmental (baik vokoid maupin kontoid). Oleh karena itu sifatnya yang demikian, bunyi itu disebut bunyi suprasegmental, alih-alih disebut bunyi nonsegmental.
Aspek dalam Bunyi Suprasegmental
Oleh para fonetisi, bunyi-bunyi suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu yang menyangkut aspek tinggi-rendah bunyi (nada), keras-lembut bunyi (tekanan), panjang-pendek bunyi (tempo), dan kesenyapan (jeda).
1. Tinggi-Rendah (Nada, Tona, Pitch)
Menurut Muslich (2010) ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan nada, baik nada tinggi, sedang, maupun rendah. Hal ini desebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita suara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga, posisi pita suara. Pita suara yang bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi.
Nada ini menjadi perhatian fonetisi karena secara linguistis berpengaruh dalam satuan sistem linguistik tertentu. Misalnya, nada turun menandakan kelengkapan tutur,
sedangkan nada naik menandakan ketidaklengkapan tuturan.
Sedangkan menurut Chaer (2009) nada atau pitch berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai juga dengan nada rendah.
Dalam bahasa Tonal seperti bahasa Thai dan bahasa Vietnam, nada bersifat fonemis, artinya dapat membedakan makna kata. Dalam bahasa Tonal, biasanya dikenal ada lima macam nada, yaitu:
a. Nada naik atau meninggi yang biasanya diberi tanda garis ke atas (/).
b. Nada datar yang biasanya diberi tanda lurus mendatar (−).
c. Nada turun atau merendah yang biasanya diberi tanda garis menurun (\).
d. Nada turun naik yakni nada yang merendah kemudian meninggi, biasanya diberi tanda garis seperti (˅).
e. Nada naik turun yaitu nada yang meninggi lalu merendah, biasanya diberi tanda seperti (˄).
Sama halnya dengan tekanan, dalam bahasa Indonesia nada juga tidak “bekerja” pada tingkat fonemis, melainkan “bekerja” pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna kalimat. Variasi nada yang menyertai unsur segmental dalam kalimat disebut intonasi, yang biasanya dibedakan menjadi empat, yaitu:
a. Nada rendah, ditandai dengan angka 1 setingkat dengan nada do.
b. Nada sedang, ditandai dengan angka 2 setingkat dengan nada re.
c. Nada tinggi, ditandai dengan angka 3setingkat dengan nada mi.
d. Nada sangat tinggi, ditandai dengan angka 4 setingkat dengan nada fa.
Contoh dalam bahasa Vietnam: [ma1] ‘hatu’
[ma2] ‘memeriksa’
[ma3] ‘tetapi’
[ma4] ‘makam’
Contoh dalam bahasa Thailand [na1] ‘sawah’
[na2] ‘muka’
[na3] ‘tebal’
Pada tataran kalimat, variasi-variasi nada pembeda maksud disebut intonasi, yang ditandai dengan [||] untuk Intonasi datar turun yang biasa terdapat dalam kalimat (deklaratif), [//] untuk intonasi datar naik, yang biasa terdapat dalam kalimat tanya, dan [==] untuk intonasi datar tinggi terdapat dalam kalimat perintah.
Contoh dalam bahasa Indoneesia:
[sate||] Sate ‘pemberitahuan bahwa ada sate’
[sate//] Sate? ‘menanyakan tentang sate’
[sate==] Sate! ‘memanggil penjual sate’
Bahkan secara nonlinguistik, nada pun bisa menunjukan kadar emosi penutur. Misalnya, nada tinggi tajam menunjukan kemarahan, nada rendah menunjukan kesusahan dan nada tinggi menunjukan nada kegembiraan.
2. Keras-Lemah (Tekanan, Aksen, Stress)
Muslich (2010) menyatakan bahwa ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan pun tidak pernah lepas dari keras atau lemahnya bunyi. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan energi otot ketika bunyi itu diucapkan. Suatu bunyi dikatakan mendapat tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu diucapkan. Sebaliknya, suatu bunyi dikatakan tidak medapat tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih kecil ketika bunyi itu diucapkan.
Walaupun dalam praktiknya kerasnya bunyi juga berpengaruh pada ketinggian bunyi, karena energi otot berpengaruh juga pada ketegangan pita suara, kedua bunyi suprasegmental ini bisa dibedakan. Buktinya, tekanan keras dengan nada rendah pun bisa diucapkan oleh penutur bahasa. Hal ini sangat bergantung pada fungsinya dalam berkomunikasi.
Variasi tekanan ini bisa dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) tekanan keras yang ditandai dengan [´], tekanan sedang ditandai dengan [−], tekanan rendah ditandai dengan [`], dan tidak ada tekanan, yang ditandai dengan tidak adanya tanda diakritik. Dalam bahasa-bahasa tertentu, variasi tekanan ini ternyata bisa membedakan makna pada tataran kata, tekanan selalu bersifat silabis, yaitu tekanan yang diarahkan pada silaba tertentu. Pada tataran kalimat, tekanan bersifat leksis, yaitu tekanan yang diarahkan pada kata tertentu yang ingin ditonjolkan.
Chaer (2009) menjelaskan bahwa tekanan atau stres menyangkut masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat, sehingga amplitudonya menyempit pasti dibarengi dengan tekanan lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara sporadis; mungkin juga telah berpola, mungkin juga bersifat distingtif, artinya dapat membedakan makna; tapi mungkin juga tidak distingtif.
Pada tataran kata, tekanan pada suku kata tertentu juga bisa membedakan makna, Misalnya:
Belanda: dóórlopen Tekanan pada silaba I ‘berjalan terus’
doorlópen Tekanan pada silaba II ‘menempatkan’
Inggris: réfuse Tekanan pada silaba I ‘sampah’
refúse Tekanan pada silaba II ‘menolak’
Batak Toba símbur Tekanan pada silabaI ‘hujan rintik’
Simbúr Tekanan pada silaba II ‘cepat besar’
Pada tataran kalimat, tekanan kata tertentu bisa membedakan maksud kalimat. Misalnya, dalam kalimat bahasa Indonesia berikut:
1. Saya membeli buku. (tekanan pada saya).
Maksudnya adalah yang membeli buku adalah saya, bukan kamu atau dia.
2. Saya membeli buku. (tekanan pada membeli).
Maksudnya adalah Saya benar- benar membeli, bukan mencuri buku.
3. Saya membeli buku. (tekanan pada buku).
Maksudnya adalah yang saya beli memang buku, bukan yang lain.
3. Panjang-Pendek (Durasi, Duration)
Bunyi-bunyi segmental juga dapat dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu diucapkan. Bunyi panjang untuk vokoid diberi tanda satuan mora, yaitu satuan waktu pengucapan, dengan tanda titik. Tanda titik satu [.] menandakan satu mora, tanda titik dua [:] menandakan dua mora, dan tanda titik tiga [:.] menandakan tiga mora. Sementara itu, bunyi-bunyi untuk kontoid diberi tanda rangkap, dengan istilah geminat. Geminat berbeda debga homorgan. Secara fonetik, gaminat adalah rentetan
artikulasi yang sama benar (identik) sehingga menimbulkan pemanjangan kontoid; sedangkan homorgan adalah bunyi-bunyi bahasa yang dibentuk dengan alat atau daerah artikulasi yang sama, tetapi dengan cara kerja agak berbeda. Misalnya, bunyi [t] dan [d] adalah bunyi homorgan karena sama-sama apiko-dental, tetapi terdapat perbedaannya, yaitu tidak bersuara dan bersuara.
Chaer (2009) menjelaskan bahwa durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua di sebelah kanan bunyi yang diucapkan (...:), atau tanda garis kecil di atas bunyi segmental yang diucapkan (-). Dalam bahasa Indonesia durasi ini tidak bersifat fonemis, tidak dapat membedakan makna kata; tetapi dalam beberapa bahasa lain seperti bahasa arab, unsur durasi bersifat fonemis.
Dalam bahasa-bahasa tertentu variasi panjang pendek bunyi ini ternyata bisa membedakan makna (sebagai fonem), bahkan bermakna (sebagai morfem).
Misalnya:
1. Belanda: [ban] ‘kusil’
[ba:n] ‘jalan’
Vokoid panjang membedakan makna atau fonemis.
2.Tagalog [kaibi:gan] ‘teman’
[kai:bigan] ‘kekasih’
Vokoid panjang membedakan makna atau fonemis.
3. Bugis [mapeje] ‘asin’
[mappeje] ‘membuat garam’
Kontoid panjang mempunyai makna atau morfemis
4. Arab [habibi] ‘kekasih’
[habibi:] ‘keasihku’
Kontoid panjang mempunyai makna atau morfemis
Dalam bahasa Indonesia, aspek durasi ini tidak membedakan makna atau tidak fonemis, juga tidak mempunyai makna atau tidak morfemis.
4. Kesenyapan (Jeda, Junture)
Menurut Muslich (2010) yang dimaksud dengan penghentian adalah pemutusan suatu arus bunyi-bunyi segmental ketika diujarkan oleh penutur. Sebagai akibatnya, akan terjadi kesenyapan di antara bunyi-bunyi yang terputus itu. Kesenyapan itu bisa berapa di posisi awal, tegah, dan akhir ujaran.
Kesenyapan awal terjadi ketika bunyi itu akan diujarkan, misalya ketika akan mengujarkan kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sebelumnya. Kesenyapan tengah terjadi antara ucapan kata-kata dalam kalimat, misalnya antara ucapan kata ini dan buku pada Ini buku; atau ucapan artarsuku kata, misalnya antara suku kata i dan ni pada kata ini, walaupun kesenyapan itu sangat singkat. Kesenyapan akhir terjadi pada akhir ujaran, misalnya ujaran akhir kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sesudahnya.
Sedangkan Chaer (2009) menjelaskan jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujaran. Disebut jeda karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat perhentian itulah terjandinya persambungan dua segmen ujaran. Jeda ini dapat bersifat penuh atau bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam (internal juncture) dan sendi luar (open juncture).
Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi dalam ini yang menjadi batas silabel biasanya ditandai dengan tanda (+). Contoh:
[am+bil]
[lak+sa+na]
[ke+le+la+war]
Sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari silabel. Dalam hal ini biasanya dibedakan adanya:
a. Jeda antarkata dalam frase, ditandai dengan garis miring tunggal (/)
b. Jeda antarfrase dalam klausa, ditandai dengan garis miring ganda (//)
c. Jeda antarkalimat dalam wacana/ paragraf, ditandai dengan garis silang ganda (#)
Tekanan dan jeda dalam bahasa Indonesia sangat penting karena tekanan dan jeda itu dapat mengubah makna kalimat. Contoh:
# buku // sejarah / baru #
# buku / sejarah // baru #
Kalimat pertama bermakna ‘buku mengenai sejarah baru’; sedangkan kalimat kedua bermakna ‘buku baru mengenai sejarah’.
Kesenyapan awal dan akhir hujan ujaran ditandai dengan palang rangkap [#], kesenyapan diantara kita ditandai dengan palang rangkap pendek [#], sedangkan kesenyapan diantara suku kata ditandai dengan palang tunggal [+]. Dengan demikian, kalimat Ini buku kalau ditranskripsikan dengan memperhatikan kesenyapan terlihat sebagai berikut.
[ # i + ni # bu + ku # ]
Kesenyapan juga bisa disebut sendi (juncture) karena kesenyapan itu sekaligus klausa, frase, kata, morfem, silaba, maupun, fonem.
Transkripsi fonetis yang lengkap mestinya juga memperhatikan aspek bunyi suprasegmental ini. Hanya saja, karena pada bahasa- bahasa tertentu bunyi- bunyi suprasegmental ini tidak fungsional dalam membedakan makna, fonetisi cenderung mengabaikannya. Hanya aspek suprasegmental yang dianggap fungsional saja yang diperhatikan.
Menurut Muslich (2010) dalam penuturan, keempat jenis suprasegmental tersebut selalu menyertai bunyi- bunyi segmental. Kerja sama keempat jenis suprasegmental sejak awal hingga akhir penuturan tersebut disebut intonasi. Jadi, intonasi pada dasarnya bercirikan gabungan nada, tekanan, durasi, dan kesenyapan. Tidak hanya nada saja, walaupun nada memang sangat menonjol dalam intonasi ujaran.
0 komentar:
Posting Komentar