Selasa, 28 Januari 2014

IDENTITAS RAKYAT ASLI PAPUA LENYAP DALAM LAUTAN KESEJATERAAN


Foto Ilustrasi
Oleh: Kemby Kiryar

Sebagai orang Papua telah lama mengalami penindasan dan kekerasaan selama masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Permintahan rakyat untuk merdeka dan berpisah dari NKRI adalah tujuan utama. Sebab dengan tujuan itu, gerakan kami orang pribumi untuk dapat beraktifitas memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kedamaian perspektif, namun bertentangan dengan kehendak baik pemimpin negara Indonesia. Misalnya tim seratus menerima kebijakan President BJ. Habibi, tentang Otonmi khusus dan pemekaran propinsi Papua.
     
Masyarakat Papua marah dan menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat sebagai orang Papua, terkesan kami ini tidak mampu, bangsa malas, miskin dan terbelakang. Seolah-seolah manusia Papua tidak dibutuhkan akan tetapi kekayaan alaminya yang diperlukan demi kepentingan negara-negara kapitalis, dan penjajahan misalnya dengan PT. Freeport Indonesia hal ini terjadi agar negara dapat hidup dari kekayaan bangsa Papua. Tambang PT. Freeport Indonesia sebagai sarana dalam membungkam akar kekerasan di Papua.
     
Mengapa identitasku hilang lenyap dalam lautan samudera “kesejahteraan”? Karena tahun-demi tahun mencatat bahwa perjuangan rakyat untuk “M” selalu dinilai negetif oleh pemerintah pusat sebagai gerakan seperatis dari Indonesia. Sehingga untuk menghilangkan “M” mereka memakai pendekatakan kesejahetraan. Katanya, “masalah Papua adalah masalah kesejahteraan” sehingga dari Jakarta memprogramkan jaringan kerjanya langsung pusat Jakarta kepada propinsi Papua melalui progam pemerintah. Mereka tetap mendorong pemerintah daerah terus menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai warga negara. Akan tetapi, pembagunan manusian masih dibawah standar, kata “kesejahteraan” hanya dipakai untuk menjinakkan hati rakyat Papua. Sistim politik ini bisa diumpamakan dengan induk ayam menyembunyikkan anaknya saat hujan. Setelah itu tidak tahu kemana anak ayam tersebut.
       
Sejak itulah Identitas diri orang Papua tidak lagi dihargai dan dipercaya terhadap Indonesia mulai hilang dan pendapat kami ditolak, segalah pikiran ide-ide kami ditolak dan tidak diakui sebagai orang asli Papua. Kami merasa rendah, hilang kepercayaan diri terhada orang lain. Tanah kami diambil, perempun dibunuh, diperkosa, laki-laki dibunuh, rakyat kami dikejar-kejar, kasus kekarasaan penindasan oleh aparat TNI/POLRI semakin dirasakan di mana-mana di Papua.

Muncul keprihatinan bahwa dengan OTSUS,UP4B dan pemekaran propinsi, kabupaten telah mengandung banyak ancaman bagi eksistensi orang asli Papua. 
Sebab dengan pemekaraan propinsi ini berpontensi memburuk, menghancurkan identitas jati diri dan kepercayaan orang asli terhadap Jakarta. Semakin dimekarkan daerah-daerah dan propinsi di Papua, semakin membuka ruang seluas-seluas untuk orang papua tidak berdaya serta tidak memumupuk kebersamaan, nasionalisme dan kesadaran diri sebagai orang Papua akan tetapi yang ada adalah tahan perasaan, ketidakadilan, diskrimasi, minoritas dan ketidakberdayaan untuk mengambil kebjiakan baru dan alernatif guna selesaikan masalah kemanusiaan. Kebijakan pemekaran wilayah di Papua tersebut ibarat “pisau bermata dua”, di mana di satu sisi diharapkan dapat mengatasi permasalahan jauhnya rentang efektivitas pelayanan publik, pemerataan pembangunan daerah, desentralisasi demokrasi tetapi nyanya pemekaran diberikan akibat Nafsu Besar, Tenaga Kurang : Catatan Evaluasi Pemekaran Wilayah di Papua. Kiranya tidak tepat untuk menggambarkan perjalanan kebijakan pemekaran wilayah yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Karena perkembangan jumlah daerah otonom selama ini tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nasional – terutama di daerah pemekaran Papua.
         
Pihak DPR dan DPRD Propinsi menjalankan program yang sudah diatur secara struktural oleh pemerintah pusat sehingga dengan itu mereka hanya menjalani apa yang dituntut oleh negara. Kami sendiri tidak mampu, membuat kebijakan baru dan keberpihakan terhadap rakyat yang dibunuh dan dianiaya di hutan dan diatas tanah sendiri. Kami sendiri merasa dilematis dan tidak mampu baik legislative, eksekutif dan yudikatif seharusnya DPR bertindak sebagai pemegang fungsi kontral akan tetapi kini dibuang fungsi kontral kepada MRP, LMA semua lembaga ini tujuan akhir tidak jelas alias punya kepentingan sehingga “bekerja untuk siapa? beretorika untuk siapa?” sangat membingunkan masyarakat dan mahasiwa berada di tanah Papua.
          
Orang Papua sendiri akan bingun dengan diri sendiri dalam urusi program pusat karena wajib menjalaNkan tugas dan segalah cita-cita, impian, harapan mereka dipenuhi oleh pekerjaan sehari-hari. Sistem NKRI telah berhasil menjadikan orang kami sebagai anak-anak yang baik dan dapat didikan dari Indonesia sehingga kami tidak mau balik lawan, tidak ada identitas asli, tidak ada kejahatan dalam diri kami tetapi yang ada adalah kebaikan hati berhasil dilunakan oleh budaya Indonesia, sistem pemerintah Republik Indonesia.
            
Kami telah kehilangan idenititas dan jati diri kami ditengah-tengah kesibukan diri dengan berbagai tawaran dari Jakarta, sementara di lain pihak kami tidak sadari adalah identitas diri sebagai orang Papua yang kini mulai punah dan mengikis secara sistematisasi. Alasan pemerintah hanya karena kesibukan mengurusi kesejahteraan, namun akan tinggal adalah sejarah ceritra tentang orang Papua bahwa pernah berjuang untuk merdeka. Bahwa akan tinggal sebuah cerita yang dicerita kepada generasi berikut dari bangsa Papua tidak peduli dengan perjuangan  Papua.
         
Walaupun di sisi lain, telah pancing emosi dan kejahatan dalam diri sesama  manusia baik Papua maupun Indonesia. Peristiwa ini terjadi misalnya tanggal 1 Juli, jam 8 pagi hari minggu penembakan, pembunuhan kepala desa di distrik Arso Kabupaten Keerom oleh Kopasus, karena dianggap terlibat dalam gerakan Papua merdeka. Kasus penembakan, pembunuhan Mako Tabuni oleh TNI pada tangal 14 Juni, jam 10 pagi permunas III Abepura-Papua, karena diaggap pengkianat NKRI.
          
Muncul keteggang akibat terlalu baik dan jahat berhasil dilunakan oleh sistem negara pemerintah NKRI terhadap orang asli Papua merupakan diri sebagai ciptaan Tuhan, akibatnya mereka saling membunuh. Untuk menghindari kejahatan demikian, maka marilah kita saling membuka diri guna mengungkapkan masalah-masalah melalui jalan Dialog Papua-Jakarta oleh organisasi (JDP) sebagai cara mencapai kesepakatan dan solusi Papua tanah damai dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dari pihak asing. Dengan maksud bawha pada inti adalah saling membuka diri baik pemerintah Indonesia  maupun orang Papua. 


Penulis adalah Mahasiswa STFT ”Fajar Timur” Abepura -  Papua

0 komentar:

Posting Komentar