Oleh Oktovianus Pogau*
Kita harus optimis dan yakin bahwa Papua pasti dan bisa merdeka. Jauhkan segala keraguan, singkirkan segala kebimbangan, dan buang jauh-jauh rasa takut, Karena Papua merdeka adalah sebuah solusi akhir untuk bangsa dan rakyat Papua. Sebuah degungan semangat yang dipaparkan seorang sahabat dalam sebuah diskusi kecil dalam sebuah kamp di Numbay-Papua beberapa waktu lalu.
Saya sepakat dengan kobaran api semangat sahabat ini. Dimana memberikan keyakinan, yang sekaligus menanam benih cinta tanah air Papua untuk tetap menjadikan perjuangan bangsa Papua sebagai agenda yang mulus dan murni, tanpa digandeng dengan berbagai kepetingan semata.
Apa yang dipaparkan sahabat ini, sudah tentu memberikan pemahaman pada kita, bahwa kita harus menyingkirkan sikap pesimis yang selalu menghantui pola piker kita, generasi penerus bangsa Papua. Generasi yang nantinya akan berjuang dan menikmati sebuah kebebasan.
Idealisme Papua bebas yang selalu di nyanyikan oleh semesta rakyat Papua yang betul-betul membutuhkan sebuah perubahan adalah sebuah idealisme yang datangnya dari hati nurani. Muncul dari hati karena hati memang tidak bisa di bohongi.
Idealisme Papua bebas muncul karena tangisan hati dan jeritan hati. Selalu orang Papua menjerit, menangis karena harapan dan angin segar untuk bebas kadang kala sukar di temukan titiknya. Orang asli Papua dan orang luar Papua adalah dua ras yang sangat berbeda. Dan sudah tidak mungkin disatukan lagi. Tangisan ini, sudah tentu harus menjawab itu sebenarnya.
Idealisme yang muncul karena hati telah di sakiti. Gambaran pelanggaran HAM yang di lakukan tidak mungkin bias digambarkan oleh kata, pikiran dan tulisan, karena sangat biadab perlakuannya. Melihat berhamburan darah manusia setiap saat di tanah Papua yang, tanah yang telah di berkati Tuhan, telah turut memberikan pertanyaa pada orang asli Papua, kapan hati ini tidak di sakti lagi?
Idealisme yang muncul karena jelas-jelas orang Papua di posisikan pada posisi yang sangat tidak manusiawi. PEPERA 69 dan masih banyak peraturan gombal yang di yakini sebagai keputusan penyatuan resmi dengan RI adalah beberapa bobot peraturan yang tidak ada nilainya, karena sudah sangat jelas banyak yang dilacuri. Uraian yang di paparkan J.P Drogloover sejarahwan belanda dalam bukunya sudah tentu bisa bisa memberikan jawab pasti.
Papua pasti bisa merdeka, Papua pasti bebas dan Papua pasti terlepas. Ini mungkin sebuah tulisan penyadaran untuk mewujudkan semua itu. Dalam mengisi dan dalam perjalanan mencapai itu, ada beberapa kelompok di Papua, dan sama-sama akan memberikan pengaruh yang sangat besar, kalau saja bersatu padu dengan tidak memandang rendah siapapun waktu Papua bebas tidak akan lama
<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Ada beberapa kelompok di Papua yang masih sangat susah untuk di satukan persepsinya. Dan mereka juga sebenarnya sangat berpengaruh kepada sebuah pencapaian sebuah kebebasan, namun mereka sering kali menutup diri dengan berbagai alasan yang kadang masuk di akal juga.
Dalam menempuh sebuah kebebasan itu, kelompok ini sering kali hidup di tiup angin. Kemana arah angin, mereka akan mengikutinya. Bagi mereka, yang penting hidup adalah pribadi. Tangisan orang lain bukan tangisan mereka, jeritan orang lain adalah bukanlah jeritan mereka.
Pesimis Kalau Papua Akan Merdeka
Kelompok yang pertama, adalah mereka yang pesimis kalau Papua akan merdeka. Kelompok ini tidak yakin bahwa suatu saat nanti, entah cepat atau lambat Papua bisa bebas dan berdiri sendiri sebagai sebuah Negara. Pada umumnya sikap pesimis di antara mereka muncul karena kekecewaan yang berlarut-larut di serta dengan kepentingan perut yang semakin menuntut.
Contohnya bisa kita lihat saat-saat ini, pada generasi tua. Sebut saja tindakan paitua Nikolas Jouwe Cs. yang mungkin bertindak diluar alam kesadaran manusia. Dengan memenuhi undangan resmi dari Pemerintah Indonesia untuk membicarakan masalah Papua dalam bingkai Otsus. Padahal orang asli Papua tidak pernah berharap lebih dengan kehadiran Otsus. Bahkan orang Papua juga tidak pernah beranggapan paitua Nikolas Jouwe Cs sebagai pemimpin bangsa Papua.
Sudah tentu bisa dibenarkan, bahwa klaim sikap pesimis muncul karena kepentingan perut semata yang sifatnya semu. Dan mungkin juga, tetapi bisa di benarkan bahwa beliau-beliau sedikit kecewa dengan tujuan mulia, yakni melihat Papua merdeka yang jauh dari kenyataan. Karena usia beliau-beliau saat ini juga sudah lebih dari kepala lima semua.
Contoh pada generas muda. Sebut saja tindakan Benny Dimara Cs, yang beberapa waktu lalu mendatangi kantor KPUD Jogjakarta dengan tuntutan meminta ikut memilih. Dalam tuntutan mereka, sangat kental sedang di tunggangi oleh kepentingan dari beberapa pihak. Mungkin mata hati mereka tertutup dengan agenda penting yang mahasiswa Eksodus Se-Jawa Bali serukan.
Dengan sikap dan aksi mereka, sudah memberikan angina segar kepada pemerintah Indonesia bahwa harapan untuk Papua bebas adalah sebuah harapan yang konyol. Memang demikian, ikut memilih berarti masih puas dengan segala perlakuaan yang pemerintah Indonesia lakukan.
Yah, inilah di sebut dengan bagian yang menjilat darah orang asli Papua yang terbunuh karena ulah militer Indonesia. Ini yang di sebut dengan kelompok yang tertawa ria ketika ratusan ribu nyawa orang Papua hilang tiap tahunnya dan ini kelompok yang disebut menjual orang asli Papua dalam rana demokras untuk menuntut pembebasan bangsa Papua.
Pesimis Dengan Kesiapan SDM dan Mental
Banyak orang Papua masih tidak siap menyambut kemerdekaan Papua yang sudah di depan mata. Banyak alasan dan bual yang mereka selalu lontarkan, diantaranya mungkin karena Sumber Daya Manusia yang mereka klaim belum mampu, mental dan moral anak-anak Papua sendiri yang masih bobrok.
Contoh ini bisa terlihat pada generas muda Papua, kaum yang dianggap sebagai kelompok intelektual yang menutup diri terhadap segala tangisan orang Papua. Kaum intelektual yang mengorbankan segalanya untuk sebatas pengetahuan mereka. Kelompok ini akan menikmati keasriaan lingkungan tanpa ikut merasakan jeritan dan tangisan saudara-saudara se-rasnya yang sedang menangis di tanah Papua.
Septinus George Saa, putra asal Papua yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Florida, Amerika Serikat pernah mengukapkan dalam sebuah majalah rohani terbitan Indonesia, bahwa dirinya tidak punya mimpi bahkan harapan lagi untuk balik ke Papua. “Saya akan memediasi orang-orang Indonesia yang ingin datang belajar di Amerika. Jadi kemungkinan saya akan jadi ilmuwan dan menetap tinggal di amerika” secuil kalimat yang pernah di keluarkan olehnya.
Kelompok ini sangat benci bahkan anti dengan tindakan yang anarkis. Bagi mereka, mewujudkan Papua merdeka bisa di tempuh dengan kecerdasan, kepandaian, bahkan kepintaran mereka. Bagi kelompok ini, pendidikan dan ilmu pengetahuan lebih penting dari segalanya, termasuk nyawa sekalipun. Bahkan kelompok ini selalu mengklaim teman-teman seperjuangan yang berjuang dengan tindakan yang sedikit anarkis dengan lebel “kaum kanibal”.
Padahal sampai ayam tumbuh gigi sekalipun, pemerintah Indonesia tidak akan pernah membuka ruang dialog yang transparan antara Jakarta dan Papua. Memang kalau di cermati, solusi akhir penyelesaian masalah Papua adalah dialog, namun bagaimana mau di andalkan metode itu, kalau pihak yang di harapkan selalu menutup mata dengan tindakan ini.
Memalukan, mungkin kata yang pantas buat kelompok ini, kelompok yang selalu berkotek dengan kapasitas ilmu pengetahuannya. Padahal kapasitas ilmu pengetahuan itu yang di gunakan pemerintah Indonesia untuk menghancurkan generasi muda Papua yang ada.
Pesimis Papua Akan Menjadi Negara Damai
Bahkan yang lebih tragis, masih banyak orang Papua yang tidak memimpikan Papua menjadi sebuah Negara yang penuh dengan kedamaian. Mungkin karena sebuah harapan kedamaiaan yang sifatnya semua dan pribadi telah mereka rasakan. Bagi mereka, beberapa satpam dan anjing-anjin helder yang menghiasi halaman rumah mereka sudah menjadi ukuran mencapai sebuah kedamaiaan.
Kelompok ini juga sangat banyak di Papua. Pada umumnya orang-orang tua yang dulunya sebelum Otsus dan banyak uang berkotek macam ayam yang kehilangan induk untuk meminta merdeka. Tetapi setelah ada Otsus dengan ekornya yang berbunyi triliunan, mereka lupakan semua kotekan yang pernah mereka degung-degungkan.
Kelompok ini mungkin kelompok yang hidup dan paling suka berbual. Di lapangan saat mahasiswa sedang melakukan sebuah demonstrasi, kelompok ini dengan terang-terangan menyatakan dukungannya, namun di belakang berlainan tindakan, kadang kala mereka yang memerintahkan aparat keamanan untuk melakukan tindakan penembakan, bahkan sampai pada pembunuhan.
Bagi kelompok ini, melakukan berbagai hal biadab untuk mewujudkan hidup damai untuk pribadi dan keluarga mereka adalah sangat penting. Kelompok ini kalau berjalan, tidak pernah melihat kebawah, selalu melihat keatas. Egoisme sangat tinggi. Bahkan yang lebih aneh lagi, kelompok ini tidak senang meliht orang lain bahagia.
Mungkin masih ingat kinerja Agus Alua Alue, ketua Majels Rakyat Papua (MRP) saat ini. Tidak ada yang menggembirakan dari keputusannya bahkan kebijakannya. Mungkin sebagian besar orang asli Papua sedikit bernafas lega ketika beliau terpilih jadi ketua MRP, karena sebelumnya dirinya pernah di Presedium Dewan Papua (PDP). Namun apa boleh kata, seperti si cebol mengharapkan jatuhnya bulan itu harapan rakyat Papua terhadapnya.
Kelompok ini adalah kelompok yang telah menikmati segala kemewaan dan faslititas yang di milki Negara Indonesia. Kelompok ini tentu berpikir hutang budi pada Negara yang telah menjamin segala kehidupanya. Dan kelompok ini adalah kelompok yang telah di “nina bobokan” oleh system Negara. Antara system dan idealisme dari sanubari hati, seringkali di putarbalikan. Pilihan sering kali jatuh pada system Negara yang melindungi mereka dari segala gigitan, termasuk gigitan nyamuk sekalipun.
Penutup
Dalam langkah-langkahg mewujudkan sebuah kebebasan itu, nampaknya masih banyak kejahatan yang mengarah kpeada Genocida (pemusnahan etnis orang asli Papua). Dan bukan rahasia umum lagi, kalau orang Papua sengaja di habisi dengan maksud menggalkan sebuah kebebasan yang sedang di imipikan itu yang sekaligus menurunkan tingkat kepercayaan generasi muda Papua terkait isu merdeka.
Beragam cara yang di lakukan untuk memusnahkan etnis Melanesia di Papua. Cara biadap sekalipun akan di tempuh, apabila melihat peluang dan tujuan mulia ini akan tercapai dengan mulus. Tuhan-pun akan di setankan, dan setan-pun akan di Tuhan-kan ini moto yang selalu di gandeng BIN dalam operasi khusus di bumi Papua, operasi untuk menghabiskan orang asli Papua.
Orang Papua masih di anggap sebagai hama yang mengganggu kedaultan NKRI. Orang Papua lagi-lagi di anggap sebagai akar persoalan konflik vertical. Bahkan orang asli Papua di anggap sebagai sebuah “kutukan” yang mengganggu perkembangan Negara Indonesia.
Data kongkrit yang berhasil di himpun Sekertaris Perdamaian dan Keadilan (SKP) Kordinator Nabire, Pania dan Puncak Jaya, bahwa dalam Tiap bulannya kurang lebih 300 orang asli Papua meninggal dunia. Data ini-pun hanya jumlah di sebuah distrik saja.
Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi bersama beberapa saat lalu. Bisa di bayangkan, berapa jumlah korba nyawa tiap bulannya pada satu Kabupaten saja. Apalagi di gabungkan seluruh Kabupaten di Papua. Hal ini kalau di biarkan sampai puluhan tahun mendatang, bukankah orang asli Papua akan habis dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Tidak salah yakin kalau Papua akan merdeka. Tapi salah juga, kalau tidak berpikir bagaimana cara supaya orang Papua bisa sampai di ambang kebebasan dengan sebuah taktik mulia. Harus di pikirkan, tindakan apa yang harus di lakukan, membendung arus BIN yang sedetik saja bagi mereka sangat berarti.
Sekarang saatnya kita bersatu padu. Buang semua keraguan dan kebimbangan. Hidup harus untuk orang lain, hidup harus memikirkan tangisan orang lain, hidup harus melihat penderitaan orang lain. Ini sebuah kesatuan yang akan membuahkan hasil yang sungguh mulia. Papua Merdeka, itu sudah harga mati. Salam.
Saya sepakat dengan kobaran api semangat sahabat ini. Dimana memberikan keyakinan, yang sekaligus menanam benih cinta tanah air Papua untuk tetap menjadikan perjuangan bangsa Papua sebagai agenda yang mulus dan murni, tanpa digandeng dengan berbagai kepetingan semata.
Apa yang dipaparkan sahabat ini, sudah tentu memberikan pemahaman pada kita, bahwa kita harus menyingkirkan sikap pesimis yang selalu menghantui pola piker kita, generasi penerus bangsa Papua. Generasi yang nantinya akan berjuang dan menikmati sebuah kebebasan.
Idealisme Papua bebas yang selalu di nyanyikan oleh semesta rakyat Papua yang betul-betul membutuhkan sebuah perubahan adalah sebuah idealisme yang datangnya dari hati nurani. Muncul dari hati karena hati memang tidak bisa di bohongi.
Idealisme Papua bebas muncul karena tangisan hati dan jeritan hati. Selalu orang Papua menjerit, menangis karena harapan dan angin segar untuk bebas kadang kala sukar di temukan titiknya. Orang asli Papua dan orang luar Papua adalah dua ras yang sangat berbeda. Dan sudah tidak mungkin disatukan lagi. Tangisan ini, sudah tentu harus menjawab itu sebenarnya.
Idealisme yang muncul karena hati telah di sakiti. Gambaran pelanggaran HAM yang di lakukan tidak mungkin bias digambarkan oleh kata, pikiran dan tulisan, karena sangat biadab perlakuannya. Melihat berhamburan darah manusia setiap saat di tanah Papua yang, tanah yang telah di berkati Tuhan, telah turut memberikan pertanyaa pada orang asli Papua, kapan hati ini tidak di sakti lagi?
Idealisme yang muncul karena jelas-jelas orang Papua di posisikan pada posisi yang sangat tidak manusiawi. PEPERA 69 dan masih banyak peraturan gombal yang di yakini sebagai keputusan penyatuan resmi dengan RI adalah beberapa bobot peraturan yang tidak ada nilainya, karena sudah sangat jelas banyak yang dilacuri. Uraian yang di paparkan J.P Drogloover sejarahwan belanda dalam bukunya sudah tentu bisa bisa memberikan jawab pasti.
Papua pasti bisa merdeka, Papua pasti bebas dan Papua pasti terlepas. Ini mungkin sebuah tulisan penyadaran untuk mewujudkan semua itu. Dalam mengisi dan dalam perjalanan mencapai itu, ada beberapa kelompok di Papua, dan sama-sama akan memberikan pengaruh yang sangat besar, kalau saja bersatu padu dengan tidak memandang rendah siapapun waktu Papua bebas tidak akan lama
<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Ada beberapa kelompok di Papua yang masih sangat susah untuk di satukan persepsinya. Dan mereka juga sebenarnya sangat berpengaruh kepada sebuah pencapaian sebuah kebebasan, namun mereka sering kali menutup diri dengan berbagai alasan yang kadang masuk di akal juga.
Dalam menempuh sebuah kebebasan itu, kelompok ini sering kali hidup di tiup angin. Kemana arah angin, mereka akan mengikutinya. Bagi mereka, yang penting hidup adalah pribadi. Tangisan orang lain bukan tangisan mereka, jeritan orang lain adalah bukanlah jeritan mereka.
Pesimis Kalau Papua Akan Merdeka
Kelompok yang pertama, adalah mereka yang pesimis kalau Papua akan merdeka. Kelompok ini tidak yakin bahwa suatu saat nanti, entah cepat atau lambat Papua bisa bebas dan berdiri sendiri sebagai sebuah Negara. Pada umumnya sikap pesimis di antara mereka muncul karena kekecewaan yang berlarut-larut di serta dengan kepentingan perut yang semakin menuntut.
Contohnya bisa kita lihat saat-saat ini, pada generasi tua. Sebut saja tindakan paitua Nikolas Jouwe Cs. yang mungkin bertindak diluar alam kesadaran manusia. Dengan memenuhi undangan resmi dari Pemerintah Indonesia untuk membicarakan masalah Papua dalam bingkai Otsus. Padahal orang asli Papua tidak pernah berharap lebih dengan kehadiran Otsus. Bahkan orang Papua juga tidak pernah beranggapan paitua Nikolas Jouwe Cs sebagai pemimpin bangsa Papua.
Sudah tentu bisa dibenarkan, bahwa klaim sikap pesimis muncul karena kepentingan perut semata yang sifatnya semu. Dan mungkin juga, tetapi bisa di benarkan bahwa beliau-beliau sedikit kecewa dengan tujuan mulia, yakni melihat Papua merdeka yang jauh dari kenyataan. Karena usia beliau-beliau saat ini juga sudah lebih dari kepala lima semua.
Contoh pada generas muda. Sebut saja tindakan Benny Dimara Cs, yang beberapa waktu lalu mendatangi kantor KPUD Jogjakarta dengan tuntutan meminta ikut memilih. Dalam tuntutan mereka, sangat kental sedang di tunggangi oleh kepentingan dari beberapa pihak. Mungkin mata hati mereka tertutup dengan agenda penting yang mahasiswa Eksodus Se-Jawa Bali serukan.
Dengan sikap dan aksi mereka, sudah memberikan angina segar kepada pemerintah Indonesia bahwa harapan untuk Papua bebas adalah sebuah harapan yang konyol. Memang demikian, ikut memilih berarti masih puas dengan segala perlakuaan yang pemerintah Indonesia lakukan.
Yah, inilah di sebut dengan bagian yang menjilat darah orang asli Papua yang terbunuh karena ulah militer Indonesia. Ini yang di sebut dengan kelompok yang tertawa ria ketika ratusan ribu nyawa orang Papua hilang tiap tahunnya dan ini kelompok yang disebut menjual orang asli Papua dalam rana demokras untuk menuntut pembebasan bangsa Papua.
Pesimis Dengan Kesiapan SDM dan Mental
Banyak orang Papua masih tidak siap menyambut kemerdekaan Papua yang sudah di depan mata. Banyak alasan dan bual yang mereka selalu lontarkan, diantaranya mungkin karena Sumber Daya Manusia yang mereka klaim belum mampu, mental dan moral anak-anak Papua sendiri yang masih bobrok.
Contoh ini bisa terlihat pada generas muda Papua, kaum yang dianggap sebagai kelompok intelektual yang menutup diri terhadap segala tangisan orang Papua. Kaum intelektual yang mengorbankan segalanya untuk sebatas pengetahuan mereka. Kelompok ini akan menikmati keasriaan lingkungan tanpa ikut merasakan jeritan dan tangisan saudara-saudara se-rasnya yang sedang menangis di tanah Papua.
Septinus George Saa, putra asal Papua yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Florida, Amerika Serikat pernah mengukapkan dalam sebuah majalah rohani terbitan Indonesia, bahwa dirinya tidak punya mimpi bahkan harapan lagi untuk balik ke Papua. “Saya akan memediasi orang-orang Indonesia yang ingin datang belajar di Amerika. Jadi kemungkinan saya akan jadi ilmuwan dan menetap tinggal di amerika” secuil kalimat yang pernah di keluarkan olehnya.
Kelompok ini sangat benci bahkan anti dengan tindakan yang anarkis. Bagi mereka, mewujudkan Papua merdeka bisa di tempuh dengan kecerdasan, kepandaian, bahkan kepintaran mereka. Bagi kelompok ini, pendidikan dan ilmu pengetahuan lebih penting dari segalanya, termasuk nyawa sekalipun. Bahkan kelompok ini selalu mengklaim teman-teman seperjuangan yang berjuang dengan tindakan yang sedikit anarkis dengan lebel “kaum kanibal”.
Padahal sampai ayam tumbuh gigi sekalipun, pemerintah Indonesia tidak akan pernah membuka ruang dialog yang transparan antara Jakarta dan Papua. Memang kalau di cermati, solusi akhir penyelesaian masalah Papua adalah dialog, namun bagaimana mau di andalkan metode itu, kalau pihak yang di harapkan selalu menutup mata dengan tindakan ini.
Memalukan, mungkin kata yang pantas buat kelompok ini, kelompok yang selalu berkotek dengan kapasitas ilmu pengetahuannya. Padahal kapasitas ilmu pengetahuan itu yang di gunakan pemerintah Indonesia untuk menghancurkan generasi muda Papua yang ada.
Pesimis Papua Akan Menjadi Negara Damai
Bahkan yang lebih tragis, masih banyak orang Papua yang tidak memimpikan Papua menjadi sebuah Negara yang penuh dengan kedamaian. Mungkin karena sebuah harapan kedamaiaan yang sifatnya semua dan pribadi telah mereka rasakan. Bagi mereka, beberapa satpam dan anjing-anjin helder yang menghiasi halaman rumah mereka sudah menjadi ukuran mencapai sebuah kedamaiaan.
Kelompok ini juga sangat banyak di Papua. Pada umumnya orang-orang tua yang dulunya sebelum Otsus dan banyak uang berkotek macam ayam yang kehilangan induk untuk meminta merdeka. Tetapi setelah ada Otsus dengan ekornya yang berbunyi triliunan, mereka lupakan semua kotekan yang pernah mereka degung-degungkan.
Kelompok ini mungkin kelompok yang hidup dan paling suka berbual. Di lapangan saat mahasiswa sedang melakukan sebuah demonstrasi, kelompok ini dengan terang-terangan menyatakan dukungannya, namun di belakang berlainan tindakan, kadang kala mereka yang memerintahkan aparat keamanan untuk melakukan tindakan penembakan, bahkan sampai pada pembunuhan.
Bagi kelompok ini, melakukan berbagai hal biadab untuk mewujudkan hidup damai untuk pribadi dan keluarga mereka adalah sangat penting. Kelompok ini kalau berjalan, tidak pernah melihat kebawah, selalu melihat keatas. Egoisme sangat tinggi. Bahkan yang lebih aneh lagi, kelompok ini tidak senang meliht orang lain bahagia.
Mungkin masih ingat kinerja Agus Alua Alue, ketua Majels Rakyat Papua (MRP) saat ini. Tidak ada yang menggembirakan dari keputusannya bahkan kebijakannya. Mungkin sebagian besar orang asli Papua sedikit bernafas lega ketika beliau terpilih jadi ketua MRP, karena sebelumnya dirinya pernah di Presedium Dewan Papua (PDP). Namun apa boleh kata, seperti si cebol mengharapkan jatuhnya bulan itu harapan rakyat Papua terhadapnya.
Kelompok ini adalah kelompok yang telah menikmati segala kemewaan dan faslititas yang di milki Negara Indonesia. Kelompok ini tentu berpikir hutang budi pada Negara yang telah menjamin segala kehidupanya. Dan kelompok ini adalah kelompok yang telah di “nina bobokan” oleh system Negara. Antara system dan idealisme dari sanubari hati, seringkali di putarbalikan. Pilihan sering kali jatuh pada system Negara yang melindungi mereka dari segala gigitan, termasuk gigitan nyamuk sekalipun.
Penutup
Dalam langkah-langkahg mewujudkan sebuah kebebasan itu, nampaknya masih banyak kejahatan yang mengarah kpeada Genocida (pemusnahan etnis orang asli Papua). Dan bukan rahasia umum lagi, kalau orang Papua sengaja di habisi dengan maksud menggalkan sebuah kebebasan yang sedang di imipikan itu yang sekaligus menurunkan tingkat kepercayaan generasi muda Papua terkait isu merdeka.
Beragam cara yang di lakukan untuk memusnahkan etnis Melanesia di Papua. Cara biadap sekalipun akan di tempuh, apabila melihat peluang dan tujuan mulia ini akan tercapai dengan mulus. Tuhan-pun akan di setankan, dan setan-pun akan di Tuhan-kan ini moto yang selalu di gandeng BIN dalam operasi khusus di bumi Papua, operasi untuk menghabiskan orang asli Papua.
Orang Papua masih di anggap sebagai hama yang mengganggu kedaultan NKRI. Orang Papua lagi-lagi di anggap sebagai akar persoalan konflik vertical. Bahkan orang asli Papua di anggap sebagai sebuah “kutukan” yang mengganggu perkembangan Negara Indonesia.
Data kongkrit yang berhasil di himpun Sekertaris Perdamaian dan Keadilan (SKP) Kordinator Nabire, Pania dan Puncak Jaya, bahwa dalam Tiap bulannya kurang lebih 300 orang asli Papua meninggal dunia. Data ini-pun hanya jumlah di sebuah distrik saja.
Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi bersama beberapa saat lalu. Bisa di bayangkan, berapa jumlah korba nyawa tiap bulannya pada satu Kabupaten saja. Apalagi di gabungkan seluruh Kabupaten di Papua. Hal ini kalau di biarkan sampai puluhan tahun mendatang, bukankah orang asli Papua akan habis dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Tidak salah yakin kalau Papua akan merdeka. Tapi salah juga, kalau tidak berpikir bagaimana cara supaya orang Papua bisa sampai di ambang kebebasan dengan sebuah taktik mulia. Harus di pikirkan, tindakan apa yang harus di lakukan, membendung arus BIN yang sedetik saja bagi mereka sangat berarti.
Sekarang saatnya kita bersatu padu. Buang semua keraguan dan kebimbangan. Hidup harus untuk orang lain, hidup harus memikirkan tangisan orang lain, hidup harus melihat penderitaan orang lain. Ini sebuah kesatuan yang akan membuahkan hasil yang sungguh mulia. Papua Merdeka, itu sudah harga mati. Salam.
*Sebuah Refleksi Untuk Mempersatukan Barisan dan Tekat*
Sumber:http://pogauokto.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar