KEMASYHURAN QIRA'AT 'ASHIM RIWAYAT HAFS DI DUNIA ISLAM
Oleh : Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, MA[1]    Dalam Ilmu Qira’at ada sepuluh Imam Qira’at yang sangat masyhur, bacaan  mereka disepakati oleh Ulama Qira’at sebagai bacaan yang mutawatir,  artinya bacaan yang betul-betul asli berasal dari nabi Muhammad dari  malaikat Jibril dari Allah. Sepuluh Imam Qira’aat tersebut ialah : 1.  Nafi’ bin Abi Nu’aim al-Ashbihani. 2. Ibn Katsir, Abdullah bin Katsir  al-Makki. 3. Abu ‘Amr , Zaban bin al-‘Ala’. 4. Ibn ‘Amir Abdullah bin  ‘Amir as-Syami. 5. ’Ashim bin Abi an-Najud. 6. Hamzah bin Habib  az-Zayyat. 7. Kisa’I, Ali bin Hamzah. 8. Abu Ja’far, Yazid bin  al-Qa’qa’. 9. Ya’qub al-Hadlrami dan 10. Khalaf al-bazzar (al-Bazzaz).  Setiap Imam tersebut mempunyai banyak murid. Di antara mereka ada murid  kenamaan yang sangat mahir meriwayatkan bacaan Al-Qur’an dari imam-imam  mereka atau murid-muridnya. Dalam perjalanan waktu, dan karena seleksi ilmiah dan alamiah, muncul  nama-nama yang akhirnya dijadikan sebagai referensi yang sangat valid  dan sangat dipercaya sebagai bacaan yang merefleksikan bacaan Imam-Imam  qira’at sebagaimana di atas.  Mereka yang disebut sebagai para perawi  dari Imam-Imam sepuluh adalah : 1. Nafi’ kedua perawinya : Qalun dan  Warsy. 2. Ibn Katsir : al-Bazzi dan Qunbul. 3. Abu ‘Amr : ad-Duri dan  as-Susi. 4. Ibn ‘Amir : Hisyam dan Ibn Dzakwan. 5. ‘Ashim:  Syu’bah dan  Hafsh. 6. Hamzah : Khalaf dan Khallad. 7. Al-Kisa’I : Abu al-Harits dan  ad-Duri al-Kisa’i. 8. Abu Ja’far : Ibn Jammaz dan Ibn Wardan. 9. Ya’qub :  Rauh dan Ruwais. 10. Khalaf : Ishaq dan Idris. Yang akan kita bicarakan  disini adalah Imam Hafsh perawi utama Imam ‘Ashim. Riwayat Hidup Imam Hafsh. Namanya Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah, Abu Umar bin Abi Dawud  al-Asadi al-Kufi al-Ghadliri al-Bazzaz. Beliau lahir pada tahun 90 H.  Pada masa mudanya beliau belajar langsung kepada Imam ‘Ashim yang juga  menjadi bapak tirinya sendiri. Hafsh tidak cukup mengkhatamkan Al-Qur’an  satu kali tapi dia mengkhatamkan Al-Qur’an hingga beberapa kali,  sehingga Hafsh sangat mahir dengan Qira’at ‘Ashim.  Sangatlah beralasan jika Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa : “riwayat  yang sahih dari Imam ‘Ashim adalah riwayatnya Hafsh”. Abu Hasyim  ar-Rifa’I juga mengatakan bahwa Hafsh adalah orang yang paling  mengetahui bacaan Imam ‘Ashim. Imam adz-Dzahabi memberikan penilaian  yang sama bahwa dalam penguasaan materi Qira’at, Hafsh adalah merupakan  seorang yang tsiqah (terpercaya) dan tsabt (mantap).  Sebenarnya Imam  ‘Ashim juga mempunyai murid-murid kenamaan lainnya, salah satu dari  mereka yang akhirnya menjadi perawi yang masyhur adalah Syu’bah Abu  bakar bin al-‘Ayyasy. Hanya saja para ulama lebih banyak mengunggulkan  Hafsh daripada Syu’bah. Imam Ibn al-Jazari dalam kitabnya “Ghayah an-Nihayah fi Thabaqat  al-Qurra’ ” tidak menyebutkan guru-guru Hafsh kecuali Imam ‘Ashim saja.  Sementara murid-murid beliau tidak terhitung banyaknya, mengingat beliau  mengajarkan Al-Qur’an dalam rentang waktu yang demikian lama. Di antara  murid-murid Hafsh adalah : Husein bin Muhammad al-Murudzi, Hamzah bin  Qasim al-Ahwal, Sulaiman bin Dawud az-Zahrani,  Hamd bin Abi Utsman  ad-Daqqaq, al-‘Abbas bin al-Fadl ash-Shaffar, Abdurrahman bin Muhamad  bin Waqid, Muhammad bin al-fadl Zarqan, ‘Amr bin ash-Shabbah, Ubaid bin  ash-Shabbah, Hubairah bin Muhammad at-Tammar, Abu Syu’aib al-Qawwas,  al-Fadl bin Yahya bin Syahi, al-Husain bin Ali al-Ju’fi, Ahmad bin  Jubair al-Inthaqi dan lain-lain. Hafsh memang seorang yang menghabiskan umurnya untuk berkhidmah kepada  Al-Qur’an. Setelah puas menimba ilmu Qira’at kepada Imam ‘Ashim, beliau  berkelana ke beberapa negeri antara lain Baghdad yang merupakan Ibukota  negara pada saat itu. Kemudian dilanjutkan pergi menuju ke Mekah. Pada  kedua tempat tersebut, Hafsh mendarmabaktikan ilmunya dengan mengajarkan  ilmu Qira’at khususnya riwayat ‘Ashim kepada penduduk kedua negeri  tersebut. Bisa dibayangkan berapa jumlah murid di kedua tempat itu yang  menimba ilmu dari beliau. Jika kemudian riwayat Hafsh bisa melebar ke  seantero negeri, hal tersebut tidaklah aneh mengingat kedua negeri  tersebut adalah pusat keislaman pada saat itu. Sanad Bacaan Hafsh. Sanad ( runtutan periwayatan) Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim berujung  kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sementara bacaan Syu’bah bermuara  kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Hal tersebut dikemukakan sendiri  oleh Hafsh ketika beliau mengemukakan kepada Imam ‘Ashim, kenapa bacaan  Syu’bah banyak berbeda dengan bacaannya ? padahal keduanya berguru  kepada Imam yang sama yaitu ‘Ashim. Lalu ‘Ashim menceritakan tentang  runtutan sanad kedua rawi tersebut. Runtutan riwayat Hafsh adalah  demikian: Hafsh - ‘Ashim - Abu Abdurrahman as-Sulami- Ali bin Abi  Thalib. Sementara runtutan periwayatan Syu’bah adalah demikian: Syu’bah-  Ashim- Zirr bin Hubaisy-Abdullah bin Mas’ud. Penyebaran Qira’at di Negeri-Negeri Islam. Pada saat ini Qira’at yang masih hidup di tengah-tengah umat Islam di  seluruh dunia tinggal beberapa saja, yaitu :  1. Bacaan Imam Nafi’ melalui riwayat Qalun masih digunakan oleh  masyarakat Libia dan Tunisia pada umumnya. Sementara riwayat Warsy masih  digunakan oleh masyarakat di Afrika Utara (al-Maghrib al-‘Arabi)  seperti Aljazair, Maroko, Mauritania. Sedangkan masyarakat di Sudan   masih menggunakan empat riwayat yaitu : Qalun, Warsy, ad-Duri Abu ‘Amr,  dan Hafsh. 2. Bacaan riwayat ad-Duri Abu ‘Amr masih banyak digunakan oleh kaum  Muslimin di Somalia, Sudan, Chad, Nigeria, dan Afrika tengah secara  umum. Pada waktu-waktu yang lalu riwayat ad-Duri juga digunakan oleh  orang Yaman. Hal itu terbukti bahwa Tafsir Fath al-Qadir karya  asy-Syaukani tulisan Al-Qur’annya mengikuti riwayat ad-Duri. Adanya  riwayat ad-Duri di Yaman barangkali rembesan dari Sudan. Mengingat  hubungan kedua negera tersebut telah terjalin sejak dahulu. 3. Bacaan Al-Qur’an riwayat Hafsh dari ‘Ashim adalah bacaan yang paling  banyak tersebar di seantero dunia Islam. Mengingat masih hidupnya beberapa bacaan melalui riwayat tersebut di  atas, pemerintah Saudi Arabia melalui Mujamma’ Malik Fahd bin Abdul  Aziz, telah mencetak beberapa Mushaf Al-Qur’an dengan lima riwayat yaitu  : Hafsh, Qalun, Warsy, ad-Duri dan terakhir adalah Syu’bah.  Latar Belakang Penyebaran Qira’at di Dunia Islam. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa sahabat Umar bin Khaththab, banyak  negeri-negeri di Irak dan Syam jatuh ke tangan kaum Muslimin. Banyak  permintaan dari kaum Muslimin di negeri-negeri tersebut kepada sahabat  Umar agar mengirimkan guru-guru Al-Qur’an ke negeri-negeri mereka. Maka  sahabat Umar mengirimkan beberapa utusannya, antara lain adalah sahabat  Ibnu Mas’ud diutus ke Kufah, Abu Musa al-Asy’ari diutus ke Basrah, Abu  ad-Darda’ diutus  ke Syam (Syiria).  Bacaan mereka itulah yang akhirnya  menyebar ke negeri negeri tersebut. Pada masa sahabat Usman, terutama setelah penulisan ulang mushaf  Al-Qur’an, sahabat Usman mengirimkan beberapa guru Al-Qur’an bersama  dengan mushaf  yang baru saja ditulis ke negeri-negeri Basrah, Kufah,  dan Syam.  Penduduk negeri-negeri tersebut berseteru tentang bacaan  Al-Qur’an mereka pada saat perang di Azerbaijan dan Armenia di Uni  Soviet. Pada saat itu sahabat Usman mengutus al-Mughirah bin Abi Syihab  al-Makhzumi ke Syam. Dari Syam lalu muncul seorang Qari’ terkenal yaitu  Ibn ‘Amir. Ibn al-Jazari mengatakan bahwa bacaan penduduk negeri Syam  sampai pada tahun 500 H, menggunakan Qira’at Ibn ‘Amir. Adapun di negeri Basrah di Iraq setelah masa Abu Musa al-Asy’ari  muncullah beberapa Imam Qira’at.  Di antara mereka adalah Imam Abu ‘Amr  al-Bashri  dan Ya’qub al-Hadlrami. Sampai pada tahun 200 H, masyarakat  Basrah masih menggunakan Qira’at Abu ‘Amr al-Bashri. Kemudian mereka  beralih ke Qira’at Ya’qub al-Hadlrami sampai abad ke 5 H sebelum  akhirnya beralih ke riwayat Hafsh pada masa Turki Usmani. Sementara di negeri Kufah dimana Abdullah bin Mas’ud dikirim untuk  mereka, muncul banyak ahli Qira’at. Di antara mereka adalah Imam ‘Ashim.  Lalu Imam ‘Ashim sebagaimana diutarakan di atas mengajarkan kepada  murid-muridnya antara lain Hafsh dan Syu’bah. Keterkaitan penduduk Kufah  dengan Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib adalah sesuatu yang  sangat wajar. Penduduk Kufah dalam sejarah perpolitikan adalah pengikut  setia (syi’ah) Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Ibn Mas’ud adalah orang  pertama yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada penduduk Kufah.  Sehingga mereka bangga dengan Ibn Mas’ud. Disamping bacaan Imam ‘Ashim, di Kufah juga tersebar bacaan Imam Hamzah,  perawi Hamzah al-Kisa’i dan Khalaf. Tentang tersebarnya bacaan Hamzah,  Ibn Mujahid berkata dalam kitabnya as-Sab’ah, ketika mengutip perkataan   Muhammad bin al-Haitsam al-Muqri : )  أدركت الكوفة  ومسجدها الغالب عليه قراءة حمزة , ولا أعلمنى أدركت حلقة  من حلق المسجد يقرءون بقراءة عاصم ) Artinya : aku menjumpai penduduk Kufah, bacaan yang dibaca di  masjid-masjid mereka adalah bacaan Hamzah. Aku tidak menjumpai beberapa  kelompok pengajian Al-Qur’an di masjid-masjid Kufah dengan bacaan Imam  ‘Ashim. Akan halnya bacaan al-Kisa’i, dalam banyak hal banyak persamaannya  dengan bacaan Imam Hamzah terutama dalam bab Imalah. Ibn Mujahid dalam kitabnya “as-Sab’ah” yang ditulis sekitar tahun 300 H   menjelaskan, bahwa bacaan Al-Qur’an pada negeri-negeri Islam adalah  sebagai berikut : di  Mekah dengan bacaan Ibn Katsir, di Madinah dengan  bacaan Nafi’,      di Basrah dengan bacaan Abu ‘Amr al-Bashri. Sementara  di Kufah dengan bacaan ‘Ashim, Hamzah dan al-Kisa’i. Sementara itu Imam  Makki al-Qaisi (w. 437 H) berkata tentang bacaan penduduk negeri-negeri  Islam  pada masa lalu: ) وكان الناس على رأس المائتين بالبصرة على قراء ة أبى عمرو البصرى ويعقوب  الحضرمى , وعلى أهل الكوفة قراءة حمزة وعاصم , وبالشام على قراءة ابن عامر ,  وبمكة على قراءة ابن كثير , وبالمدينة على قراءة نافع , واستمروا على ذلك .  فلما كان على رأس الثلاث مئة اثبت ابن مجاهاد اسم الكسائى  وحذف يعقوب ) Artinya : pada permulaan tahun 200 H, masyarakat di Basrah mengikuti  bacaan Abu ‘Amr al-Basri dan Ya’qub. Di Kufah mengikuti bacaan Hamzah  dan ‘Ashim. Di Syam mengikuti bacaan Ibn ‘Amir. Di Madinah mengikuti  bacaan Nafi’. Kemudian pada penghujung tahun 300 H, Ibn Mujahid memasang  nama al-Kisa’i dan mengganti Ya’qub.   Tersebarnya Riwayat Hafsh. Banyak dibicarakan oleh komunitas Al-Qur’an baik di dunia Arab atau  lainnya tentang penyebab tersebarnya riwayat Hafsh di dunia Islam.  Sebagian kalangan mengatakan bahwa pemerintahan Turki Usmani (sekitar  922 H/1516 M) mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam hal ini,  yaitu melalui kekuatan politik kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa  pemerintahan Turki Usmani pada saat  mencetak mushaf, mereka memilih  bacaan riwayat Hafsh. Lalu mereka kembangkan bacaan riwayat ini ke  seluruh negeri. Namun pendapat ini dibantah oleh Ghanim Qadduri al-Hamd. Dia mengatakan  bahwa riwayat Hafsh sebenarnya telah menyebar di beberapa tempat.  Kemudian Ghanim menyebutkan perkataan Abu Hayyan dalam tafsirnya  “al-Bahr al-Muhith”: tentang riwayat Warsy dan ‘Ashim : ( وهى (رواية ورش ) الرواية التى تنشأ عنها ببلادنا ( الأندلس ) ونتعلمها  فى المكتب . وقال عن قراءة عاصم : وهى القراءة التى ينشأ عليها أهل العراق   ) ( البحر 115/1) Ghanim kemudian merujuk kepada perkataan Muhammad al-Mar’asyi yang hidup  pada abad ke 12 H (w. 1150 H) yang disebut juga dengan Savhaqli Zadah: ( والمأخوذ فى ديارنا ( عش مدينة فى جنوب تركيا الآن ) قراءة عاصم برواية  حفص عنه ) Artinya : yang dijadikan patokan di negeri kami (Turki) adalah bacaan  ‘Ashim riwayat Hafsh. Dalam pandangan penulis ada beberapa penyebab tentang menyebarnya  riwayat Hafsh. Ada yang berupa faktor alamiah yaitu riwayat tersebut  mengalir dan menyebar dengan sendirinya seperti mengalirnya air  sebagaimana juga tersebarnya madzhab-madzhab fikih, dan ada juga faktor  ilmiah yaitu dilihat dari materi bacaan Hafsh itu sendiri. Secara garis  besar bisa penulis rangkum sebagai berikut : 1.Jika dilihat dari segi materi ilmiah, maka riwayat Hafsh adalah  riwayat yang relatif mudah dibaca bagi orang yang non Arab mengingat  beberapa hal : Pertama : tidak banyak bacaan Imalah, kecuali pada kata : (مجراها )   pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah,  al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah. Kedua : tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’ sebagaimana apa yang kita  lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah membutuhkan kecermatan  bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya. Ketiga : Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh  terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan  Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang panjang. Bahkan dalam  thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin ash-Shabbah thariq  Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil bisa Qashr (2  harakat). Keempat : dalam membaca Hamzah baik yang bertemu dalam satu kalimah atau  pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung  membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan suara  dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda dengan  bacaan Nafi’  melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu ‘Amr melalui  riwayat  ad-Duri dan  as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat  al-Bazzi dan  Qunbul yang banyak merubah bacaan Hamzah menjadi bacaan  yang lunak. Contohnya adalah pada Hamzah sakinah  atau jika ada dua  Hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah. Imam Hafsh mempunyai  bacaan tashil baina baina hanya pada satu tempat saja yaitu pada  kalimat : ( ءأعجمى ) pada surah Fushshilat : 44. Kelima : Hafsh mempunyai bacaan Isymam hanya pada satu tempat yaitu pada  kata : ( لا تأمنا ) sebagaimana juga bacaan imam lainnya selain Abu  Ja’far. Keenam: Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat :   ويخلد فيه مهانا ) ) pada surah al-Furqan: 69. Hal ini berbeda dengan  bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah. 2.Jika dilihat dari awal kemunculan bacaan ‘Ashim yaitu di Kufah atau  Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) adalah negerinya pengikut Ali  (Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali.  Kemudian  Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar disini,  adalah Ibukota  negara  (Abbasiyyah) pada masa itu, pusat kegiatan ilmiah, sehingga  penyebarannya relatif lebih mudah. Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah  kiblat kaum Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru  dunia dan mengajar Al-Qur’an  di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh  bacaannya. Penulis juga melihat adanya hubungan yang cukup signifikan antara  madzhab fikih dan Qira’at. Sebagai contoh: riwayat Warsy adalah riwayat  yang banyak diikuti oleh masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab  fikih yang banyak dianut adalah madzhab Maliki. Masa hidup  Imam Malik   adalah sama dengan masa hidup Imam Nafi’. Keduanya  di Madinah. Bisa  jadi pada saat masyarakat Afrika Utara berkunjung ke Madinah untuk haji  atau lainnya, mereka belajar fikih kepada Imam Malik dan belajar  Qira’atnya kepada Imam Nafi’. Kita tahu bahwa Hafsh pernah bermukim dan  mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup di Mekah. Boleh  jadi pada saat hidupnya kedua Imam tersebut kaum Muslimin memilih  madzhab kedua Imam tersebut. Kemudian jika kita melihat sanad bacaan  riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir  Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad  tersebut, seperti Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya. 3.Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian lama, sebagaimana dikatakan  oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya bertebaran di berbagai  tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu lama mengajar. 4.Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai dan  menguasai terhadap bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui Hafsh adalah  murid yang sangat setia pada  ‘Ashim. Mengulang bacaan berkali-kali, dan  menyebarkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang waktu yang  demikian lama. Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa  ‘Ashim mempunyai  kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan  para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya). 5.Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang di cetak  di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H,  diharakati dengan bacaan  Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam.  Hal ini mempunyai banyak pengaruh pada masyarakat, dimana mereka  menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di  Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat  Islam pada saat itu. Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup  terkemuka dalam bidang studi Al-Qur’an pernah mengatakan : ( ان الجماعة الاسلامية لن تعترف فى المستقبل الا بقراءة حفص عن عاصم )  artinya : kaum Muslimin pada masa yang akan datang tidak akan  menggunakan bacaan Al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim.  Pernyataan Blacher yang pasti didahului oleh pengamatan yang seksama,  jelas menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia Islam pada saat  itu dan pada masa yang akan datang sehingga dia bisa memastikan hal  tersebut. 6.Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir dari kitab “Tarikh  Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis  mushaf yang  sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Usmani, adalah al-Hafizh  Usman (w. 1110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf  dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf.  Dari mushaf yang  diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri. Penulis  melihat bagaimana hubungan antara keahlian menulis mushaf dengan khat  yang indah bisa menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran  satu riwayat. Jika kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf   sendiri, dan menyebarkannya ke seantero negeri kekuasaannya, maka hal  itu akan menambah pesatnya riwayat Hafsh. Dari sini penulis melihat  adanya hubungan antara kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi  tertentu. 7.Peranan para qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga  sangat berpengaruh  terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa  rekaman suara pertama di dunia Islam adalah suaranya Mahmud Khalil  al-Hushari atas inisiatif dari Labib Sa’id sebagaimana diceritakannya  sendiri pada kitabnya “ al-Mushaf al-Murattal atau al-Jam’ash Shauti  al-Awwal” rekaman ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah.  Suara yang bagus melalui teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu  bacaan. 8.Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran riwayat Hafsh, kita tidak  boleh melupakan adanya penyebab “maknawiyyah” atau faktor “berkah” atau  bisa kita katakan faktor “x” pada diri Hafsh. Unsur-unsur spiritual  seperti kesalehan, keikhlasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam  mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat  bahkan madzhab fikih atau lainnya.  Penutup. Riwayat Hafsh telah menjadi femomena tersendiri dalam penyebaran satu  riwayat dalam Qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar dan menyebar ke  seantero dunia, bahkan ke negeri-negeri yang menggunakan riwayat lain  seperti Warsy, Qalun, ad-Duri dan lain-lainnya,  sesuai dengan hukum  kemasyarakatan. Dengan semakin menyebarnya riwayat ini, kedudukan  Al-Qur’an menjadi semakin kokoh, keorisinilan bacaan Al-Qur’an dan  mushaf Al-Qur’an menjadi semakin meyakinkan. Meredupnya riwayat lain  bukan berarti meredupnya kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan  tersebut masih tetap mutawatir karena telah diakui oleh para imam-imam  Qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak mewajibkan membaca Al-Qur’an  dengan seluruh macam bacaan yang pernah diajarkannya kepada para  sahabat-sahabatnya. Tapi Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk  membaca bacaan yang mudah baginya. Dengan demikian Al-Qur’an akan tetap  terjaga kemurniannya sampai akhir zaman nanti. Itu pertanda bahwa  Al-Qur’an adalah Kalamullah 
0 komentar:
Posting Komentar