Jumat, 04 Oktober 2013

MENCARI NASIONALISME PAPUA YANG HILANG


Foto ilustrasi
Oleh: Robertus Nauw

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup seorang diri, dimana pun dan bilamana pun, manusia senantiasa memerlukan kerja sama dengan orang lain. Membentuk pengelompokan sosial (social grouping) diantara sesama dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan. 
 
Dan, dalam kehidupan bersama itu manusia memerlukan pula adanya organisasi, yaitu suatu jaringan interaksi sosial antarsesama untuk menjamin keterlibatan, interaksi antara anggota kelompok berjalan sesuai nilai serta norma yang sudah mapan. Demi kelangsungan hidup untuk mewujutkan lingkungan yang serasi diperlukan kerjasama kolektif dan diantara sesama untuk melaksanakan aturan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota.

Ini sebuah refleksi akan perjalanan generasi Papua lebih khusus mahasiswa yang mana sebagai masyarakat terdidik. Mereka selalu mengekspresikan kegalauan mereka sebagai kaum terdidik atau kaum pembelajar menuju terpelajar dengan mencari ruang dan bahkan membuat ruang sebagai wadah (organisasi) ekspresi, pendidikan, pembelajaran dan melakukan pengkaderan.

Yang kemudian membuat penulis mengelompokan generasi ini sebagai berikut. Pertama, golongan generasi yang sengaja dibuat apatis.Kedua, golongan generasi kritis dimana generasi yang memiliki nasionalisme Papua yang tinggi. Sedangkan, mahasiswa apaptis adalah  generasi yang memiliki nasionalisme Indonesia yang tinggi, wujutnyatanya bisa dilihat dari orientasi perjalanan organisasi itu sendiri dan sikap individu dari kelompok tersebut. Mahasiswa apaptis beranggapan bahwa berpikir mundur  jika kita bicara tentang disintegrasi.

Pada tatanan ini, gampang menarik sebuah benang merah yang pendek "Mencari Nasionalisme Pemuda Papua yang Hilang".Nasionalisme menunjuk pada rasa kesadaran hidup berbangsa. 

Rasa ini terbentuk dari rasa kristalisasi faktor kultural, sejarah, psikologi yang memaksa individu untuk bersatu atas dasar memiliki nilai-nilai kemasyarakatan dan cita-cita bersama (Hans,1996). Sedangkan dalam kancah politik nasionalisme ini diterjemahkan di dalam keharusan memiliki tatanan politik sendiri, merdeka dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi. 

Nasionalisme merupakan basis pembentukan identitas nasional. Persamaan kultur ditumbuhkan dengan pengalaman sejarah yang sama membentuk suatu nasionalisme bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Unsur-undur ini menyatu untuk membentuk suatu perangkat nilai keyakinan dan rasa bangga akan keberadaan bangsanya. Rasa bangga dengan simbol-simbol yang berkaitan dengan keberadaan suatu bangsa yang kemudia kita kenal dengan patriotisme.

Sesuai pengertian nasionalisme yang dijelaskan di atas, rupanya generasi Papua sekarang dan akan datang tidak lagi mengerti makna dari kata nasionalisme itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa sanpai saat ini, banyak generasi Papua yang belum memiliki budaya politik Papua, dan masih bingung tentang identitas mereka.Dan sekarang, yang dimiliki oleh mereka adalah budaya politik Indonesia-Jawa yang sudah mendoktrin mereka untuk segera meninggalkan budaya Melanesia dan cenderung ke budaya melayunisasi.

Hal yang mendasari mereka untuk lupa akan identitas dan jati diri sebagai orang Papua adalah janji negara akan terpenuhinya kebutuhan dan fasilitas sebagai penunjang hidup di hari esok dan hari tua. Ada satu hal yang perlu diingat bahwa para pejuang Republik Indonesia, mereka sebagai pahlawan sejati dimana mereka memperjuangkan kemerdekaan yang sekarang dinikmati oleh anak cucu mereka (generasi sekarang). Sekali lagi, janji negara berarti bicara soal pemerintah.

Yang menjadi pertanyaan, apakah generasi Papua sekarang semuannya memiliki semangat nasionalisme yang tinggi? Apakah kita bangga jadi pemuda Papua?  Apakah kita bangga jadi generasi salah asuh?

Banyak diantara mereka yang tidak lagi bersimpati dengan pemimpin yang tidak lagi berperikemanusiaan. Yang anehnya ada orang Papua yang mengaku dirinya sebagai pahlawan dinegeri ini bahkan mereka lebih mengaku atau banggsa sebagai orang Indonesia dibandingkan dengan orang Indonesia-Jawa yang memang asli orang Indonesia.

Bagaimana kembali menumbuhkembangkan kembali semangat nasionalisme Papua yang hilang di tengah tingginya iklim pemekaran wilayah Papua yang telah berhasil memecahbelakan masyarakat Papua berdasarkan asal usul dan primordial suku yang kental? 

Seiring dengan pembagian Papua berdasarkan suku asal dalam pemekaran kota dan kabupaten di Provinsi Papua, membuat generasi Papua tidak lagi paham akan identitas dan dan jati diri Papua yang sebenarnya apa ini pertanda bahwa generasi sekarang tidak memunyai komitmen dan harga diri dan tidak berprinsip. 

Hal ini terbukti ketika banyak diantara generasi Papua yang hanya ikut-ikutan, ketika diberi jabatan, atau diberi fasilitas, dan berbagai macam janji yang ditawarkan dan mereka rela menjadi penghianat dengan menjual tanah ini dan rakyat Papua demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Realita hari ini, banyak anak negeri yang yang terjebak dalam politik busuk pendahulu mereka dan tidak bisa kembali karena frustasi akan kemiskinan dan terjebak dalam kubangan penderitaan yang memilukan hati. Kurangnya perhatian akan pendidikan membuat rakyat kurang mampu kian marjinal bahkan ditengah gegab gempita zaman Otsus di Papua,  banyak anak Papua malah harus putus sekolah karena tingginya biaya pendidikan yang tidak dikontrol dengan baik oleh pemerintah. Membuat lembaga pendidikan di Papua tidak lebih sebagai lahan bisnis.

Buntutnya di Kota Sorong, akhir April 2010, "Banyak orang tua kurang mampu mendatangi DPRD Kota Sorong. Mereka meminta pihak Legislatif mengeluarkan Perda tentang rakyat marjinal (asli Papua) untuk tidak berhak mendapatkan pendidikan alias tidak usah sekolah saja." (Radar Sorong).  Contoh lain di Manokwari Provinsi Papua Barat, seorang mahasiswa semester dua di salah satu Sekolah Tinggi Swasta dililit dengan tunggakan biaya sekolah mencapai jutaan rupiah, mengaku frustasi dan nekat mencuri untuk tetap kuliah. 

Memang ini hanya sebagian kecil kasus anak pemilik negeri ini (Papua) yang ingin  bersekolah setinggi mungkin namun tetap tidak mendapat pendidikan yang layak karena tidak mampu. Padahal pendidikan itu pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia, kata Andrea Hirata.

Kenapa dari pendidikan terendah sampai Perguruan Tinggi di Papua dan Papua Barat selalu sembunyi di balik alasan "Pendidikan itu Mahal". Itu sudah alasan klasik. Sehingga frustasi adalah penyakit yang lumrah dikalangan generasi muda Papua. Penulis belum pernah temukan generasi Papua yang punya cita-cita sebagai pemabuk apalagi pencuri dan pengemis. Namun faktanya, banyak generasi Papua identik dengan stigma hitam badaki, pencuri, pemabuk dan lain sebagainya yang sudah kuat dibangun oleh persepsi. 

Sekalipun di jalanan itu banyak anak negeri yang bekerja mencari uang untuk dapat bersekolah semisal Tukang Parkir, Knek, Loper korang, Cuci Mobil, Kuli bangunan, dan lain sebagainya. Namun, mereka tetap saja tidak bisa keluar dari stigma miskin dan pencuri. Penguasa kita di Papua sendiri yang membangunya. Karena tidak ada salah satu grent desain strategi untuk membangun sumber daya manusia generasi Papua secara utuh. 

Lihat saja, perijinan pendirian klub malam (bar-bar) dengan penawarannya kian merajalela, pendirian tempat-tempat maksiat dibangun secara terstruktur, belum lagi pengedaran miras dan narkoba yang sudah tumbuh subur di kalangan generasi muda.Tetap saja tidak ada tindakan nyata untuk membongkar budaya ini.Sekali lagi alasannya sudah kuat dengan isu pendapatan asli daerah.

Nasionalisme yang Mengguncang Dunia

Berkaca dari berbagai gerakan melawan pemerintah yang tak memihak rakyat kecil malah menumbuhsuburkan rasa nasionalismenya. Membuat rakyat (pemuda) nekat membuat revolusi yang mengguncang dunia.

Akhir-akhir ini aksi yang paling promadona adalah aksi bakar diri. Lihat saja aksi bakar diri seorang penjual sayur-mayur asal Tunisia 18 Desember 2010. Sebagai bentuk aksi protes kepada pemimpin yang tiran dan tak memihak rakyat kecil mengundang reaksi keras dari jutaan orang Tuniasia untuk turun ke jalan dan berhasil menggulingkan rezim Ben Ali pada Januari 2011. 

Kini aksi bakar diri mulai merambat ke berbagai negara seperti Mesir, Libya, Yaman Suria dan Bahrain. Bahkan masih segar dalam ingatan kita di seantero tanah air ini, aksi bakar diri seorang mahasiswa Sondang Hutagalung, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) yang meninggal akibat membakar diri dalam sebuah aksi protes di depan istana negara, Rabu 7 Desember 2011 lalu di depan Istana Presiden Republik Indonesia.

Berkaca pada realitasaat ini di Papua, sungguh ironis karena generasi ini terus dihancurkan oleh negara (pemerintah) ini sendiri.Kemudian membuat hilangnya nasionalisme generasi Papua. Pemerintah  tidak melihat tindakan mabuk, narkoba dan lain sebagainya yang melilit sejuta generasi Papua sebagai bentuk rasa frustasi dari kegagalan mereka memberikan pendidikan yang layak bagi sesama anak negeri.

Itu sebagai sebuah masalah yang sebagai cerminan untuk melakukan solusi kepedulian dan keberanian memberikan pesan pada pemerintah yang dianggap gagal.Dinamika ini hendaknya mendapat atensi dari pemerintah, agar harapan darigenerasi ini tidak putus sia-sia,   dan berserakan di jalanan

Mari kita putuskan untuk tidak meniru kelakuan pemimpin kita yang tidak berperikemanusiaan, mari kita mengabungkan otot dan otak kita ke arah baru. Mari kita mencoba menciptakan manusia Papua sejati dan utuh tanpa terkontaminasi. Karena masih banyak pekerjaan yang harus kita kerjakan. Masih ada beban berat yang kita pikul bersama, perjungan menuju Papua sejahtera yang kita cita-citakan.

Negara ini telah melakukan apa yang kita rencanakan dan telah melakukannya dengan baik. Mari kita berhenti saling mempersalahkan, tapi kita koreksi diri kita perbaharui mental kita yang mudah dihasut.

Kita sadar bangsa ini banyak berjasa dan selama ini membesarkan kita, namun pada akhirnya kita harus berani bicara kebenaran. Agar kebanggaan jadi orang Papua itu tidak hanya di generasi terdahulu. Sejarah yang menunjukkan pada kita bahwa zaman boleh beralih, namun akar dari semuanya tidak boleh tercabut, yaitu kemauan kita sebagai sebuah bangsa yang juga punya jati diri di atas negeri ini.

Akan menjadi penuntun jalan kita untuk pulang dan mengejar kembali nasionalisme Papua yang telah hilang diantara carut marut dan gegab gempita Otonomi Khusus dengan segala rayuannya.

Robertus Nauw adalah Mantan Relawan PSCS Kota Jayapura-Papua.

0 komentar:

Posting Komentar