Rabu, 05 November 2014

PAPUA TOLAK TRANSMIGRASI, PEMERINTAH HARUS CARI ALTERNATIF LAIN

Peta Papua Barat (Ist)

Jakarta - Pemerintah harus mencari alternatif lain dalam melakukan distribusi penduduk. Disarankan jangan dengan konsep atau strategi transmigrasi lagi, sebab program ini telah ditolak Pemerintah Daerah Papua. Hal itu dikatakan mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Laode Ida, Senin (3/11).

Laode mengatakan, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe menolak program transmigrasi yang direncanakan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Lukas menilai, masyarakat Papua akan merasa menjadi warga minoritas di tanahnya sendiri. 

Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial, yang memicu terjadinya konflik antar masyarakat asli Papua dan non asli Papua.

“Pemerintahan Jokowi jangan bikin masalah baru di Papua. Kalau transmigran datang, mereka masuk dari berbagai pulau, orang asli Papua akan tersisih dan menjadi minoritas dalam bertani dan menjadi miskin di tanahnya sendiri,” kata Enembe kepada wartawan, di Kota Jayapura, Papua, Minggu (2/11).

Menurut Laode, bukan mustahil daerah-daerah lain di Indonesia, khususnya wilayah Indonesia Timur akan melakukan hal yang sama seperti Papua, yakni menolak program transmigrasi.
Menurut Laode, alasannya adalah, pertama, pertumbuhan penduduk di luar Jawa juga cukup tinggi. Selain karena angka kelahiran yang tinggi, warga dari daerah lain, termasuk Jawa datang secara sukarela. Akibatnya penduduk asli cenderung terpinggirkan oleh warga pendatang. Ini umumnya terjadi di wilayah perkotaan.

Sementara di wilayah pedesaan, kata dia, tanah sudah secara berangsur dikuasai oleh segelintir pemilik modal dari luar daerah. Akibatnya warga lokal merasa terancam dengan kemungkinan akan terjadinya penguasaan lahan dan sumberdaya alam (SDA) lainnya oleh para warga pendatang, terutama melalui transmigrasi.
Kedua, transmigrasi akan mengancam masa depan generasi warga penduduk asli.

Ketiga, secara sosial politik, program transmigrasi dianggap sebagai bagian dari pemapanan kekuasaan Jawa terhadap ekonomi, budaya dan politik di luar Jawa. Apalagi terhadap kawasan Timur Indonesia. Disadari atau tidak, tegas Laode, distribusi kekuasaan jabatan politik di tingkat nasional di era awal kepemimpinan Presiden Jokowi ini yang dianggap tidak berkeadilan, sehingga bisa memicu semangat penolakan atas program transmigrasi.

Menurut Laode, dalam beberapa diskusi yang dilakukan oleh komunitas Indonesia Timur di Jakarta, nuansa penolakan terhadap transmigrasi muncul sangat kuat. Apalagi disemangati oleh sangat minimnya representasi pejabat politik di tingkat nasional (menteri) yang direkrut oleh Presiden Jokowi saat ini.
Laode meminta pemerintah harus melakukan dua hal. Pertama, program transmigrasi di Indonesia Timur harus diganti dengan program resetlement atau penataan wilayah dengan menempatkan warga lokal untuk mengembangkan potensi sumber daya alamnya sendiri. 

Dengan demikian, kata dia, bukan untuk mengirim warga Jawa ke luar Jawa, melainkan untuk me-restle penduduk lokal di setiap daerah di Indonesia.

Kedua, pemerintah harus kembali menggalakkan program keluarga berencana, sehingga tidak lagi terjadi lonjakan penduduk seperti dalam beberapa tahun terakhir. 



0 komentar:

Posting Komentar